Pakar Beda Pandangan soal Penerapan PPKM, PSBB hingga Lockdown

Pakar Beda Pandangan soal Penerapan PPKM, PSBB hingga Lockdown

Hilda Meilisa - detikNews
Rabu, 23 Jun 2021 16:40 WIB
Benjamin Franklin looking COVID-19 newspaper headlines on One Hundred Dollar Bill
Foto: Getty Images/iStockphoto/hamzaturkkol
Surabaya -

Melonjaknya angka COVID-19 di Indonesia membuat pemerintah berfikir keras untuk menekannya. Beragam wacana dan gagasan diungkapkan para epidemiolog. Namun gagasan itu bertolak belakang dengan pakar ekonomi.

Penebalan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro dinilai tidak efektif. Pakar epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dr dr Windhu Purnomo menyarankan sebaiknya pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) saja.

"Bagaimana ya, pemerintah pusat hanya sekadar menebalkan PPKM Mikro. Yang kita ketahui tidak efektif. Jadi seharusnya yang dipilih PSBB ketat," saran Windhu saat dihubungi detikcom di Surabaya, Rabu (23/6/2021).

Jika tak mau lockdown, Windhu menyarankan sebaiknya PSBB saja. Windhu menilai jika ada usulan lockdown biasanya kerap mendapat stigma buruk.

"Kalau memang mau sungguh-sungguh menangani pandemi, mau betul-betul melindungi rakyat, masyarakat, bukan hanya mendengar para politisi dan pengusaha seharusnya PSBB ketat. Kalau kita nggak mau lockdown ya. Karena lockdown ini sudah distigma buruk, seakan-akan kita nggak boleh ngomong lockdown," imbuhnya.

Baca juga: Pandu: Pemerintah Fokus Pulihkan Ekonomi - Abai Tangani Pandemi

Windhu juga mencontohkan India yang sempat terjadi lonjakan kasus COVID-19, kini kondisinya telah melandai. Windhu menyebut pemerintah India berani menerapkan lockdown.

"Kita contoh India saja lah. India kan kemarin baru tinggi kan bulan lalu. Hari ini hanya dalam tempo sebulan ini menurun 1/8 kali, karena mereka mau melakukan lockdown. Lockdown negara bagian, di sana langsung lockdown. Negara bagian di sini seluas provinsi lah. Menurut saya harus serius," tambah Windhu.

Sementara Wakil Dekan I Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unair Dr Wisnu Wibowo menilai lockdown sudah tak bisa dilakukan sekarang. Karena daya tahan masyarakat dan pemerintah di sisi ekonomi sudah melemah.

"Saya menyampaikan begini, daya tahan masyarakat baik dari sisi psikologis ataupun finansial itu sudah semakin tergerus. Pada sisi lain kasusnya belum bisa dikendalikan, dari sisi daya tahan ekonomi, kebijakan lockdown total itu menurut saya dari sudut pandang ekonomi kebijakan lockdown itu sudah out of moment," papar Wisnu.

"Sudah tidak bisa dilakukan sekarang. Karena itu tadi, secara ekonomi rumah tangga individual, daya tahan ekonomi kita sudah melemah. Masyarakat dari berbagai kalangan merasakan di tahun 2021 dampaknya semakin berat. Kemudian dari sisi ketahanan fiskal nasional itu juga sudah kemampuan fiskal kita sudah mengalami perlambatan untuk bisa menanggung semua konsekuensi dari adanya kebijakan ini," imbuhnya.

Tonton video 'Alasan Jokowi Pilih PPKM Mikro Dibanding Lockdown':

[Gambas:Video 20detik]



Wisnu mengatakan pemerintah juga tak punya uang yang cukup untuk mencukupi kebutuhan masyarakatnya saat dilakukan lockdown.

"Jadi kita tidak punya uang yang cukup untuk menjamin apakah bisa mencukupi kebutuhan masyarakat termasuk juga hilangnya potensi pendapatan," tambahnya.

Saat ditanya apa solusi yang bisa dilakukan, Wisnu mengatakan yang menjadi titik temu antara kepentingan ekonomi dan pengendalian COVID-19 ada di pembatasan yang sifatnya mikro.

"Jadi penguasaan atas data COVID-19 yang aktual itu akan menjadi kunci untuk bisa kemudian kita bisa melakukan kebijakan yang terukur atau katakanlah lockdown mikro tapi di sisi yang lain ekonomi tetap bisa berjalan," jelas Wisnu.

Wisnu menyebut kebijakan yang customize atau yang bisa menyesuaikan.

Baca juga: "Lockdown" atau Membenahi Sistem Pencegahan?

"Sektor tertentu yang amat terkait dengan mobilitas penduduk dan menjadi media persebaran kita, harus diketahui dan diidentifikasi dengan baik. Jadi tidak ada kebijakan pembatasan yang sifatnya itu diberlakukan tanpa customize. Karena ini arahnya customize kebijakan yang tidak beragam dan bisa lebih customize," lanjut Wisnu.

Sementara Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair, Ilham Akhsanu Ridlo SKM MKes berpendapat jika saat ini dibutuhkan solidaritas bersama dengan menyamakan frekuensi.

"Sebetulnya kalau sekarang Indonesia tidak punya pilihan karena dilihat dari lonjakan kasus mengkhawatirkan, dilihat dari kapasitas tenaga dan rumah sakit. Sepertinya kita harus membangun solidaritas bersama kalau mau ingin pandemi COVID-19 cepat selesai, frekuensinya disamakan," kata Ilham.

Selain itu, Ilham juga ingin pemerintah bisa jujur mengatakan jika sedang tidak baik-baik saja.

"Pemerintah harus jujur untuk bilang ke masyarakat bahwa tolong ini sedang tidak baik-baik saja maka kita harus melakukan ke dukungan untuk teman-teman nakes, karena penularan semakin dekat," imbuh Ilham.

Halaman 2 dari 2
(hil/fat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya
Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.