Sugito (70) warga setempat menuturkan sejak dulu tempat tersebut memang dianggap keramat. Tak ayal banyak warga luar daerah sengaja berkunjung untuk ngalap berkah. Mereka yang hendak nyadran biasanya memilih hari istimewa. Yakni malam Jumat Kliwon.
"Ya di situ biasanya membakar kemenyan terus menyampaikan permintaannya," kata Sugito yang masih berstatus keponakan juru kunci bernama almarhum Sigun kepada detikcom, Minggu (13/6/2021).
Pria yang berstatus purna tugas BUMD itu mengaku tak tahu banyak tentang cerita Syekh Brubuh. Bahkan menurut cerita yang didengarnya tempat berbentuk makam itu sebenarnya hanya petilasan. Sedangkan keberadaan makam asli tidak diketahui.
Dulunya, lanjut Sugito sebagian warga sengaja mendatangi kompleks makam sebelum beraktivitas. Dicontohkan, nelayan tradisional yang hendak melaut ada yang minta restu agar hasil tangkapannya melimpah. Ada pula yang berniat meminta kelancaran niaga.
"Rata-rata minta laris jualannya. Kalau hajatnya sudah terkabul biasanya orang tersebut diminta selamatan dengan menyembelih kambing kendit," imbuh Sugito sembari menuturkan jika dirinya kerap mengantarkan warga menuju lokasi.
Sejak tiga tahun terakhir Sugito tak lagi rutin mengurus makam. Faktor usia dan kondisi kesehatan memaksanya tinggal di rumah. Seiring berjalannya waktu makin sedikit orang yang datang untuk nyadran. Tradisi itu tergantikan ziarah kubur dan selawatan.
"Setahu sebagian tempat bersejarah di Pacitan memang dikultuskan. Tentu saja kita ndak bisa melarang. Sekarang pun mungkin masih ada yang nyadran tapi diam-diam," terang Husnuddin (51), relawan penjaga makam. (fat/fat)