Semburan lumpur Lapindo Sidoarjo muncul sejak 15 tahun silam. Namun penyelesaian ganti rugi korban hingga kini belum tuntas. Tersisa puluhan pengusaha yang belum menerima ganti rugi.
Mereka tergabung dalam Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL). Ada 31 pengusaha yang menjadi korban semburan lumpur. Lokasi mereka juga masuk dalam peta areal terdampak (PAT) di 2 kecamatan yakni Porong dan Tanggulangin.
Para pengusaha ini berharap pemerintah pusat memperhatikan nasib korban lumpur yang belum terbayar. Awalnya, mereka dijanjikan ganti rugi diselesaikan secara B to B oleh Lapindo. Namun sudah 15 tahun sejak ada lumpur Lapindo tapi belum terealisasi.
"Harapan kami semoga bisa cepat dibayar, pemerintah harus hadir untuk menyelesaikan masalah ganti rugi ini. Pemerintah mengabaikan putusan MK no 83/PUU-XI/2013," kata Marcus Johny Rany salah satu pengusaha furniture kayu dan rotan di Sidoarjo, Jumat (28/5/2021).
Para korban yang masuk dalam PAT khususnya pengusaha, jelas dia, akan diselesaikan oleh PT Lapindo dengan sistem B to B dengan uang muka 20 persen. Dengan persyaratan jika dua tahun tidak lunas, perjanjian itu akan batal.
"Perjanjian itu berlakunya 2 tahun, kalau Lapindo gagal bayar. Perjanjian tersebut batal dan sertifikat bisa diambil kembali," jelas Johny.
Johny mengaku sebenarnya semua warga korban lumpur Lapindo di Sidoarjo itu tidak ada bedanya. Yang membedakan korban menjadi warga dan pengusaha itu adalah PT Lapindo. Menurut Johny, seharusnya pemerintah mengikuti putusan MK.
Selain itu, Johny memaparkan untuk korban lumpur yang masuk kategori pengusaha berjumlah 31 orang. Dengan jumlah kerugian sebesar Rp 800 miliar.
Lihat juga video 'Paranormal Terawang 2021 Rawan Bencana':
"Korban lumpur Sidoarjo itu semua sama tidak ada bedanya. Baik itu warga dan pengusaha, semua ya korban lumpur," tegas Johny.
Hal yang sama disampaikan Dwi Cahyani, yang akrab dipanggil Yeyen. Yeyen yang merupakan pemilik perusahaan furniture berharap para pengusaha sesegera mungkin bisa diselesaikan secepatnya. Mengingat sudah 15 tahun. Karena statusnya sama yakni warga korban lumpur Lapindo, sementara warga lain yang ganti rugi sudah terlunasi.
"Sesuatu yang tidak mudah bagi kami, besar harapan kami tahun ini bisa diselesaikan. Apalagi situasi pandemi seperti ini, kita benar benar berharap besar, ganti rugi terlaksana. Agar kita para pelaksana usaha bisa survive, semoga pemerintah juga mensupport penyelesaian ganti rugi tersebut," kata Yeyen.
Yeyen menambahkan, hingga kini pihaknya sudah tidak memiliki aset lagi. Bahkan tempat yang digunakan usaha ini masih kontrak. Seharusnya pemerintah pusat tetap mensupport pelaksanaan ganti rugi terhadap warga yang belum terbayar ini.
"Kami sudah menerima 20 +10 persen, tapi IJB tersebut sudah gugur. Dalam perjanjian disebutkan kalau dalam jangka waktu tertentu tidak bisa menyelesaikan otomatis gugur," jelas Yeyen.
"Harapan saya pemerintah bisa mengambil alih menyelesaikan ganti rugi seperti yang dilakukan kepada warga yang lain. Karena saya juga merupakan salah satu warga yang kebetulan pelaku usaha. Perusahaan kami berada peta area terdampak, jadi besar harapan saya tidak ada dikotomi lagi," tandas Yeyen.
Diketahui, semburan lumpur Lapindo itu muncul 29 Mei 2006. Ganasnya semburan lumpur panas yang menyembur dari Desa Siring Kecamatan Porong ini menenggelamkan 11 desa dari tiga Kecamatan.
Di Kecamatan Porong antara lain Desa Siring, Mindi, Reno Kenongo. Sementara di Kecamatan Jabon di Desa Kedungcangkrin, Pajarakan dan Besuki. Sedangkan di Kecamatan Tanggulangin, desa yang tenggelam yakni di Desa Kedung Bendo, Ketapang, Gemol Sari, dan sebagian Desa Kali Tengah.