BMKG melakukan survei dan evaluasi penyebab rusaknya rumah di Malang, akibat gempa bumi magnitudo (M) 6,1. Hasilnya, BMKG menemukan banyak struktur bangunan yang tidak memenuhi syarat tahan gempa.
Pakar geologi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Amien Widodo menyarankan masyarakat di sekitar Pantai Selatan Jawa baiknya memiliki rumah dengan bangunan tahan gempa.
"Jadi kalau kita melihat gempa ini dulu waktu di Jogja hanya magnitudo 6 juga tapi kerusakannya sangat masif. Karena rumah-rumahnya tidak mengikuti tata cara bangunan tahan gempa. Jadi mereka hanya bata ditumpuk," ujar Amien, Rabu (14/4/2021).
Untuk rumah tahan gempa, referensi konstruksinya saya gunakan dari sumber Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum. Yakni pondasi menggunakan batu kali, syaratnya di atas tanah stabil, denah simetris. Lalu, pemasangan bata dan rangka bangunan syaratnya seluruh kerangka kaku dan kokoh, tiap sudut diberi skoor kayu pengaku.
Untuk pemasangan rangka atap dan penutup, syaratnya titik simpul sambungan diberi baut dan alat pengikat, pilah bahan yang ringan untuk penutup atas. Terakhir, syaratnya pilih bahan yang ringan untuk penutup atap dan harus dikerjakan pekerja yang berpengalaman.
Sementara untuk rumah yang bukan bangunan tahan gempa, lanjut Amien, bisa menyiapkan meja yang cukup kuat. Meja ini sebagai tempat berlindung.
"Jadi jika rumah kita belum bisa menyesuaikan dengan bangunan tahan gempa, mungkin kita bisa membuat semacam meja yang kuat di darah itu. Jadi misalnya terjadi gempa, kita bisa berlindung di bawah meja itu. Jika gempa sudah selesai, baru keluar," sarannya.
Kendati demikian, Amien mengingatkan bagi masyarakat yang berada di wilayah pesisir pantai, untuk tidak berlindung di meja. Jika ada gempa berpotensi tsunami, baiknya langsung menjauhi pantai dan pergi ke wilayah yang lebih tinggi.
"Tapi kalau daerah itu di sekitar pantai, harus memperhatikan karena ada isu tsunami. Selalu mencari info terbaru dari BMKG. Karena gempa lebih dari 6,5 bisa berpotensi tsunami," pungkasnya.