Hoezein meluruskan bahwa dua benda itu bukan pusaka Bung Karno. Karena sosok Bung Karno dikenalnya sebagai pemimpin yang tidak percaya tahayul. Bung Karno adalah penganut Islam yang taat dan sangat menguasai budaya kearifan lokal.
"Saya luruskan ya. Keris Sekar Jagad dan Gong Kiai Djimat itu bukan jimat Bung Karno. Bukan juga pusaka beliau. Keduanya adalah benda bersejarah yang dikoleksi beliau," jawabnya kepada detikcom saat dihubungi Sabtu (20/2/2021).
Hoezein Hardjowijoto adalah pria asli Blitar. Karena zaman dulu ada Dwi Fungsi ABRI, maka dengan pangkat terakhir Kolonel AL ini juga menjadi pejabat di Departemen Perhubungan pada era Orde Baru.
Setelah pensiun, pria berusia 80 tahun ini memilih menepi dan tinggal di lereng Gunung Kawi, tepatnya di Desa Krisik Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar. Dihubungi detikcom, Hoezein mengapresiasi karena masih masa pandemi. Namun secara gamblang, suaranya masih menggelegar bersemangat menceritakan bagaimana dia mendapat dua pusaka Bung Karno itu.
"Keris Sekar Jagad itu saya diberi sesepuh supranatural di Solo. Dia berpesan, kalau tidak suka buang saja. Lalu saya menanyakan kepada Bu Sri, beliau ini dulu ahli pusaka dan Kepala Museum Pusaka TMII. Beliau bilang, jangan dibuang karena ini keris sama seperti yang dimiliki Bung Karno," tuturnya.
Bung Karno pada zaman masih berkuasa, lanjut dia, memang punya banyak koleksi benda bersejarah seperti keris. Namun setelah lengser dari jabatannya, keberadaan benda bersejarah itu menyebar dan sulit terdeteksi kembali.
Konon dari cerita Bu Sri ini, keris yang diberikan kepada Hoezein ini bernama Kiai Sekar Jagad. Diberi nama demikian, karena materi keris dikumpulkan dari batu meteor yang jatuh di atas seluruh daratan di Nusantara. Mulai Pulau We barat Aceh sampai Papua.
Keris Sekar Jagad inilah yang konon dibawa kemana-mana oleh Soekarno sebelum mempunyai atau tepatnya memegang tongkat komando. Dicerna dari namanya Sekar Jagad dan diruntut proses pembuatannya berasal dari meteor yang jatuh diatas Nusantara, Hoezein menilai inilah falsafah pemersatu yang ingin disampaikan Bapak Pemersatu Bangsa ini.
"Saya menilai Keris Sekar Jagad inilah bukti falsafah pemersatu bangsa. Bung Karno selalu menyampaikan pesan secara ekplisit dan implisit melalui beragam kearifan lokal yang ada di Indonesia, tanpa menghilangkan bahkan menghapuskannya," tandasnya.
Hoezein mengaku cukup lama menyimpan keris itu. Walaupun secara sembunyi-sembunyi disimpannya, karena apapun yang berbau Soekarno saat orde baru menjadi sesuatu yang sensitif. Untuk menghilangkan jejak itu, Hoezein sengaja melapisi Keris Sekar Jagad dengan sepuhan emas.
![]() |
Sedangkan Gong Kiai Djimat, dibelinya dari keluarga Ibu Wardoyo (kakak kandung BK, Sukarmini) yang tinggal di Istana Gebang. Sekitar tahun 1978, tujuh tahun setelah Bung Karno meninggal, merupakan masa sulit bagi keluarganya di Blitar. Cerita yang beredar, Keluarga Wardoyo sampai menjual barang-barang mereka untuk bertahan hidup.
Melalui seorang dalang Blitar, Sukro Suwondo, Hoezein diminta membantu keluarga itu dengan cara membeli seperangkat gamelan. Pas waktu itu Hozein yang penikmat kesenian Jawa memang membutuhkan gong untuk melengkapi koleksi gamelannya.
"Saya sama dalang Suwondo diminta beli Gong Kiai Djimat saja. Itung-itung bantu Bu Wardoyo katanya. Waktu itu terbilang mahal ya harganya. Tapi gak usahlah saya sebut nominalnya," ungkapnya sambil tertawa.
Ketika tahu ada Perpusnas Bung Karno yang dibangun di Blitar, Hozein kemudian berniat menghibahkan dua benda tersebut. Dia kemudian berkirim surat kepada Wali Kota Blitar saat itu, Djarot Saiful Hidayat untuk mengambilnya di rumahnya Jakarta.
"Kalau selama memegang keris sih, Alhamdulillah saya sehat kuat dan diberi hidup cukup oleh Tuhan. Kalau gong ini unik. Suka bunyi sendiri, dan itu diakui beberapa petugas di Perpusnas BK sampai sekarang. Entahlah....yang jelas itu bukan jimat bukan pusaka," pungkasnya.