Surabaya -
Pemerintah memperpanjang PPKM selama 2 pekan. Kali ini diberi nama PPKM Mikro. Harapannya, PPKM Mikro di level kampung, desa, RW dan RT ini bisa mengerem aktivitas warga.
Pakar dan Ahli Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dr dr M Atoillah Isfandi MKes menyoroti kenyataan di lapangan saat ada pembatasan.
"PPKM itu sebenarnya adalah PSBB setengah hati, yang penting ada kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat, tetapi kenyataan di lapangan implementasi tidak jelas dan tidak tegas," kata Atoillah saat dihubungi detikcom, Selasa (9/2/2021).
Atoillah mengatakan penanganan yang lebih ke hulu adalah bahwa risiko penularan penyakit di hulu harus lebih diawasi. Tapi di hulu lebih ke pengendalian risiko penularan di masyarakat.
"Sehingga konteksnya itu bagaimana meningkatkan selain kepatuhan protokol kesehatan, 3T (Testing, tracing, treatment) yang harus diperkuat. Yang menjadi fokus yakni protokol kesehatan harus dipertegas, kemudian 3T di level mikro itu juga harus ditingkatkan," tambahnya.
Dia menilai pada hakekatnya pemberlakuan PPKM mikro ini bagus. Sebab penekanan pada daerah lebih kecil akan membuat fokus, tetapi apa yang dilakukan itu yang terpenting untuk dirumuskan.
"Memprediksi berdasarkan pengalaman PPKM kemarin, satu kelemahan mendasar di PKKM, yakni tidak ada ketegasan dan kejelasan implementasi pembatasan di lapangan. Sebab, fakta di lapangan tidak ada pembatasan sama sekali. Kalau PPKM mikro nanti hanya mengubah kata makro jadi mikro tapi pelaksanaannya sama nggak jelas juga," tegasnya.
Poinnya, tambah dia, sebenarnya pada penjelasan dalam juklak petunjuk pelaksanaan di lapangan. Apa yang dibatasi, pasar kah? kalau dibatasi berapa jam, yang terpenting sanksinya apa kalau tidak patuh pada aturan. Tanpa itu semua, tidak efektif," jelasnya.
Baginya, istilah PPKM selama ini hanya program di atas kertas. Tetapi implementasi tidak jelas dan tegas. Yang diperlukan pada PPKM mikro di Jatim adalah kejelasan dan ketegasan. Artinya memiliki target yang akan dicapai.
Kemudian, tegas Atoillah, bentuk mobilitas dipertanyakan, akan seperti apa yang harus diperketat. Hal itu juga harus tertulis dengan tegas dan jelas. Maka bukan menjadi normatif daerah tersebut dilakukan PPKM mikro, sebab nantinya akan membingungkan pelaksana di lapangan.
"Jadi mobilitas di mana, pasar apa, atau tempat berkumpul mana di daerah tersebut yang harus diatasi. Itu saya kira harus tegas. Selama ini PPKM kan nggak tegas, sehingga para pelaksana di lapangan gamang mau melakukan penindakan, sementara petunjuk tidak jelas. Kata-kata mikro lebih ke wilayah mikro sudah bagus, tapi PPKM ini sendiri yang menurut saya masih sebaiknya minimal menggunakan istilah PSBB. Karena yang di UU seperti itu jangan dimodifikasi dengan lain-lain," pungkasnya.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini