"Saya kira aparat kepolisian bernafsu untuk men-tersangkakan HRS. Dan proses hukum ini melebihi dosis, overdosis," ujar Sekretaris Jenderal GUIB Jatim Mochammad Yunus kepada detikcom, Senin (14/12/2020).
Bukan tanpa alasan GUIB Jatim menilai penegakkan hukum HRS overdosis. Apalagi, HRS sudah membayar denda sebesar Rp 50 juta pasca kejadian di Petamburan beberapa waktu lalu.
"Kalau sudah bayar denda tidak ada proses hukum. Ini denda sudah dibayar Rp 50 juta, tapi masih dipidana. Ini dipaksakan, timpang dan overdosis. Pelanggar prokes aja diborgol kayak gitu. Sementara koruptor yang merugikan negara tidak diperlakukan gitu. Penegakan hukum overdosis ini, bersemangat menegakkan hukum yang timpang. Penegakkan hukum yang heboh," bebernya.
Yunus menganggap kedatangan HRS secara sukarela ke Polda Metro Jaya seharusnya sudah menjadi itikad baik. Namun, aparat dinilai menahan HRS dengan melawan paradigma hukum.
"Beliau datang ikhlas seharusnya diapresiasi, karena untuk kelancaran proses penyeliidkan. (HRS) Ini sudah kooperatif, tapi kenapa pelaku (prokes) yang lain tidak diproses hukum, kasus korupsi gak diborgol, seorang kiai ulama diperlakukan begitu. Nyukur kumis cukup pakai silet ini pakai kapak. Makanya over dosis," tegasnya.
Yunus menambahkan tidak ada sebuah kasus hukum di mana tersangkanya harus menjalani dua kali hukuman. Yakni hukuman denda dan kurungan.
"Tidak ada kasus yang kemudian dibawa ke ranah hukum menjadi dua kali sanksi/tersangka. Sudah bayar denda, terus ditahan. Ini sesuatu yang jarang kita jumpai. Kan membayar denda sudah dilakukan tapi kemudian dipaksa disidik hingga ditahan. Ini sesuatu yang jarang kita jumpai, ini bertentangan dengan paradigma hukum," pungkas Yunus. (iwd/iwd)