"Ada satu orang yang melanggar dalam hal ini HRS karena melanggar prokes, lalu dituduh UU itu. Maka orang yang melakukan hal sama itu mestinya diperlakukan sama. Sementara kasus pelanggaran prokes di tempat lain di Solo dan Medan yang melibatkan kelompok pro pengambil kebijakan tidak dikenakan jeratan pasal yang sama, kan tidak adil," ujar Sekretaris Jenderal GUIB Jatim, Mochammad Yunus kepada detikcom, Sabtu (12/12/2020).
Yunus melihat, siapa pun orang/warga yang melanggar prokes, namun berada di lingkaran pengambil kebijakan, maka proses hukumnya lambat. Bahkan, bisa tidak diproses sama sekali.
"Kita bisa melihat itu, contoh di Solo saat pendaftaran Pilkada, termasuk di Medan. Dan yang terbaru di Solo, pesta kemenangan dengan ingar bingar para pendukung pemenang Pilkada itu melakukan pelanggaran prokes. Tapi tidak diproses sama sekali," tegasnya.
"Ini penegakan hukum yang timpang. Ini (hukum) harusnya ditegakkan yang imbang, agar masyarakat percaya kepada penegak hukum. Jadi kalau gini masyarakat punya persepsi penegakan hukum tidak dilakukan semestinya," lanjutnya.
Yunus menambahkan, sebagaimana paradigma penegakan hukum, maka setiap masyarakat memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum.
"Jadi setiap warga masyarakat berkedudukan sama di mata hukum. Artinya hukum itu tidak tajam ke bawah dan kemudian tumpul ke atas. Misal orang itu dalam satu kelompok dengan pengambil keputusan lalu melakukan pelanggaran yang sama dan tidak diproses hukum juga tidak dituntut seperti hukuman HRS, ini perlakuan berbeda," pungkasnya. (sun/bdh)