Pada 1995, tanah Mbah Sri digunakan PDAM Magetan. Kala itu ia hanya mendapat kompensasi Rp 360 ribu dari Rp 10 juta yang diminta.
Kini, nenek bernama lengkap Mintarsih Samsriati (75) warga Desa Sidomulyo, Kecamatan Sidorejo, Kabupaten Magetan itu ingin memperjuangkan kembali uang Rp 10 juta tersebut. Kepada detikcom, ia pun menceritakan soal kisah yang terjadi di 1995 tersebut.
"Pertama ngih tahun 1995 wayah sore kulo ki amek godong kok wonten tiyang ngukur lemah kulo. 'Mas niki kok diukur kajeng damel nopo, dijawab kajeng dibangun Mbah, dibangun PDAM ngoten' (Pertama ya, tahun 1995 waktu sore dulu saya metik daun pisang kok ada orang mengukur tanah saya. Mas ini kok diukur tanah untuk apa, dijawab mau dibangun Mbah, dibangun PDAM gitu," ujar Mbah Sri kepada detikcom, Senin (16/11/2020).
Kala itu Mbah Sri tidak langsung menjawab, karena tanah itu hak miliknya dan ia rutin membayar pajak. "Niku terserah anak kulo, kulo boten saget mutusi, niku hak milik loh Mas pemajekan kulo lak ngoten (Itu terserah anak saya, itu hak milik ada bayar pajak loh Mas)," imbuhnya.
Setelah itu ia dipanggil perangkat desa untuk datang ke kantor desa, dan mengaku diancam oleh camat saat itu, Galuh. Jika ia tidak melepaskan tanah untuk kepentingan PDAM, maka akan berurusan dengan hukum.
"Saya dipanggil Pak Sarip, pegawai PDAM ke kantor desa. Zaman itu lurahnya Pak Juri, Camat Bu Galuh. Saya hanya diam saat diancam katanya akan dibui kalau tidak menyerahkan tanahnya. Bu Galuh camatnya saat itu yang mengancam tahun 1995," ungkapnya.
"Niki Bu Sri ngeh, niki sumber air bade dipendet PDAM jenengan pareng nopo boten, kulo mendel mawon. Mengke nek boten pareng dibui dipenjara, kulo boten jawab mendel mawon (Begini Bu Sri ya, ini sumber air akan diambil PDAM, Anda boleh apa tidak, saya diam saja. Nanti kalau tidak boleh, dipenjara, saya diam saja tidak jawab)," tambahnya.
Mesti dalam batin tidak ikhlas, dirinya meminta dua pancuran air yang dipasang pipa untuk keperluan warga. Tanah yang dipakai oleh PDAM berukuran sekitar 6 x 5 meter.
Mbah Sri mengatakan, ia mendapat uang ganti rugi Rp 360 ribu dari PDAM. Namun ia harus membayar juga untuk mengalirkan air dari sumber PDAM itu.
![]() |
"Ganti rugi cuma Rp 360 ribu. Itu uang suruh beli meteran Rp 200 ribu. Dan itu seterusnya tasik (masih) bayar per bulan mulai 1995 sampek 1998. Tahun 1999 demo lurah, akhirnya dibebaskan boten bayar," paparnya.
Air PDAM yang diambil dari tanahnya itu, kata Mbah Sri, untuk dialirkan ke perumahan di Kecamatan Magetan kota. Lokasi sumber air sekitar 300 meter dari rumah Mbah Sri.
"Ini untuk kebutuhan seluruh rumah tangga di Kecamatan Magetan Kota. Lokasi dari rumah saya sekitar 300 meter," sambungnya.
Saat itu dirinya meminta kompensasi Rp 10 juta. Namun di bawah ancaman itu, lanjut Mbah Sri, ia hanya mendapat Rp 360 ribu.
"Loh yen ngaten jenengan (kalau begitu Anda) menggunakan kesempatan dalam kesempitan," kata Mbah Sri menirukan ucapan pejabat saat itu.
"Koe iyo, baten kulo ngeh ngoten (kamu juga, dalam hati saya gitu)," imbuhnya.
Mbah Sri mengungkapkan, saat itu pihak kecamatan juga menjanjikan akan membelikan seekor sapi. Namun sampai saat ini belum terlaksana.
"Katanya mau belikan lembu, sampai sekarang juga tidak pernah," sambungnya.
Direktur Utama PDAM Magetan Choirul Anam menyampaikan, permasalahan tersebut sudah dalam tahap mediasi. PDAM Lawu Tirta Magetan mengakui dari data tahun 1995, Mbah Sri menerima uang kesepakatan Rp 360 ribu.
"Memang kami hanya pelimpahan saja data pejabat saat itu. Intinya sudah ada kesepakatan dan kali ini tadi kita juga sudah silaturahmi ke rumah yang bersangkutan," kata Anam.
"Kita sering juga anjangsana ke warga sekitar lokasi sumber air untuk pembagian CSR bagi masyarakat yang kurang mampu dan juga bantuan untuk anak sekolah tiap HUT PDAM. Intinya permasalahan akan diselesaikan," pungkasnya.