Di Buku Karya Budayawan Ini, Sri Tanjung Hidup Lagi Usai Dibunuh Suami

Di Buku Karya Budayawan Ini, Sri Tanjung Hidup Lagi Usai Dibunuh Suami

Ardian Fanani - detikNews
Senin, 19 Okt 2020 21:16 WIB
Kisah Sri Tanjung terkait nama Banyuwangi terpenggal sampai Sri Tanjung meninggal dibunuh suaminya, Sidopaksa. Namun dalam buku karya budayawan Banyuwangi Aekanu Hariyono, Sri Tanjung hidup kembali.
Ilustrasi di buku Ini Banyuwangi Sri Tanjung Hidup Kembali/Foto: Ardian Fanani
Banyuwangi -

Kisah Sri Tanjung terkait nama Banyuwangi terpenggal sampai Sri Tanjung meninggal dibunuh suaminya, Sidapaksa. Namun dalam buku karya budayawan Banyuwangi Aekanu Hariyono, Sri Tanjung hidup kembali.

Hidupnya kembali Sri Tanjung untuk membalas kekejian Raja Sindureja, Prabu Sulahkrama. Dalam buku berjudul Ini Banyuwangi Sri Tanjung Hidup Kembali yang diterbitkan oleh Lembaga Kajian Pendidikan Adat, Budaya dan Lingkungan Kiling Osing Banyuwangi ini, Sri Tanjung dihidupkan oleh Batari Durga atau Batari Uma. Sri Tanjung diruwat disucikan dan terbebaskan dari kutukan oleh Sadewa (ayah Sri Tanjung). Akhirnya Sri Tanjung ditolong oleh Batari Uma dan dihidupkan kembali.

"Nyawa (atma) Sri Tanjung belum waktunya meninggal. Akhirnya dihidupkan kembali oleh Batari Durga atau Batari Uma, diruwat disucikan dan terbebaskan dari kutukan oleh Sadewa (ayah Sri Tanjung)," ujarnya kepada detikcom, Senin (19/10/2020).

Sri Tanjung diruwat oleh Sang Batari dengan cara membacakan doa-doa, disucikan dimandikan dengan air bercampur bunga. Sri Tanjung menjadi lebih cantik, bersih dari dosa dan cacat, dan tidak akan terkena kutukan. Kemudian Sri Tanjung dianugerahi sebuah
mustika wadon yang membuat dirinya dikasihi oleh semua makhluk hidup serta dapat menghidupkan orang mati.

"Penggambaran air dan Sri Tanjung di relief candi maupun naskah kuno berhubungan dengan penyucian penolak bala, atau ruwatan. Air berperan sebagai simbul penyucian, atau amerta, maupun simbolisme tirta. Yang berarti perjalanan dari tahap rendah ke tahap lebih tinggi yang berkualitas suci," tambahnya.

Di akhir cerita, Sidapaksa yang menjadi gila setelah membunuh Sri Tanjung juga disembuhkan oleh Betari Uma. Selanjutnya, setelah sadar, Sidapaksa kemudian diminta untuk meminta maaf kepada Sri Tanjung. Hingga akhirnya, Sri Tanjung mau kembali dengan suaminya dengan syarat Sidapaksa harus membunuh Prabu Sulahkrama.

"Hingga Akhirnya Prabu Sulahkromo meninggal dunia di tangan Sidapaksa. Setelah itu, Sidapaksa menggantikan Prabu Sulahkrama menjadi Raja di Sindureja," tambahnya.

Buku yang diciptakan Aekanu Hariyono ini dilengkapi dengan gambar ilustrasi yang apik. Selain itu, buku tersebut dilengkapi dengan 6 bahasa. Di antaranya Bahasa Inggris, Bahasa Osing (suku khas Banyuwangi), Bahasa Jawa, Spanyol dan Perancis. Peluncuran buku Sri Tanjung Hidup Kembali karya Aekanu Hariyono dilakukan dalam focus group discussion (FGD), Kamis (23/7/2020). FGD berlangsung di Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi.

"Dari cerita yang saya buat, Sri Tanjung yang berhubungan dengan cikal bakal nama Banyuwangi itu dipercaya oleh masyarakat Banyuwangi, sebagai sosok wanita yang tidak hanya cantik, tapi wataknya dan kepribadiannya yang perlu dicontoh. Yaitu sopan, lembut, setia pada suami, taat, jujur, pemaaf dan berani berkorban demi membela kebenaran," lanjutnya.

Sebelumnya, cerita Sri Tanjung muncul dengan beberapa versi. Namun hanya dipenggal hingga Sidapaksa membunuh Sri Tanjung dan muncul air yang wangi.

Banyak versi cerita kisah Sri Tanjung. Cerita ini bermula saat seorang ksatria yang tampan dan gagah perkasa bernama Raden Sidapaksa. Ia mengabdi kepada Raja Sulakrama yang berkuasa di Negeri Sindurejo. Sidapaksa diutus mencari obat oleh raja kepada kakeknya, Bhagawan Tamba Petra, yang bertapa di pegunungan. Di sana ia bertemu dengan seorang gadis yang sangat ayu bernama Sri Tanjung. Sri Tanjung bukanlah gadis biasa, karena ibunya adalah bidadari yang turun ke bumi dan diperistri seorang manusia.

Raja Sulakrama diam-diam terpesona akan kecantikan Sri Tanjung. Sang Raja menyimpan hasrat untuk merebut Sri Tanjung dari tangan suaminya. Sehingga ia mencari siasat agar dapat memisahkan Sri Tanjung dari Sidapaksa. Sidapaksa pun diutus ke khayangan untuk mengirimkan surat ke para dewa.

Sepeninggal Sidapaksa, Sri Tanjung digoda oleh Raja Sulakrama. Sri Tanjung menolak, tetapi Sulakrama memaksa, memeluk Sri Tanjung dan hendak memperkosanya. Mendadak datang Sidapaksa yang menyaksikan istrinya berpelukan dengan sang raja.

Raja Sulakrama yang jahat dan licik, malah balik memfitnah Sri Tanjung dengan menuduhnya sebagai wanita sundal penggoda, yang mengajaknya untuk berbuat zina. Sidapaksa termakan hasutan sang raja dan mengira istrinya telah berselingkuh. Sehingga ia terbakar amarah dan kecemburuan.

Sri Tanjung pun dibawa ke telaga. Dengan penuh kesedihan Sri Tanjung bersumpah apabila dirinya sampai dibunuh, jika yang keluar bukan darah, melainkan air yang harum, maka itu merupakan bukti bahwa dia tak bersalah.

Akhirnya dengan garang Sidapaksa yang sudah gelap mata menikam Sri Tanjung dengan keris hingga tewas. Maka keajaiban pun terjadi, benarlah persumpahan Sri Tanjung, dari luka tikaman yang mengalir bukan darah segar melainkan air yang beraroma wangi harum semerbak. Konon air yang harum mewangi itu menjadi asal mula nama tempat tersebut, yang kemudian menjadi ibu kota kerajaan Blambangan. Dinamakan Banyuwangi yang bermakna 'air yang wangi'. Melihat hal tersebut, Raden Sidapaksa menyadari kekeliruannya dan menyesali perbuatannya.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya
Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.