Pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dr dr Windhu Purnomo mengatakan proteksi ini penting, mengingat para pejabat bekerja dengan bertemu banyak orang saban harinya.
"Tidak hanya kepala daerah tapi juga untuk nasional, semua harus mematuhi protokol kesehatan. Tapi lebih-lebih pimpinan, pimpinan daerah, nasional, siapapun entah menteri, bupati, gubernur bahkan sampai presiden. Itu harus mempunyai protokol yang jauh lebih ketat karena mereka pemimpin," kata Windhu di Surabaya, Senin (24/8/2020).
"Entah dalam berkunjung, entah dalam menerima tamu. Itu harus ada protokol yang ketat, lingkaran dalam dari pejabat itu, ya sekda dan sebagainya. Presiden juga sama, lingkaran dalamnya termasuk asisten rumah tangga, istana bagaimana. Mereka melayani. Jadi protokol harus lebih ketat," imbuh Windhu.
Selain itu, Windhu menyebut para pejabat juga wajib melakukan tes swab secara berkala. Namun jika melakukan rapid test, juga harus diulang dalam waktu 7 hingga 10 hari ke depannya.
"Secara berkala harus ada tes. Testing swab bukan sekadar rapid test. Kalau rapid test, tapi harus sesuai prosedur. Kalau nonreaktif diulang seminggu sampai 10 hari yang akan datang. Kalau dia reaktif harus masuk swab test. Itu harus dilakukan secara rutin minimal seminggu sekali. Atau ya kalau misalnya pimpinan daerah makin ke bawah levelnya ya 2 minggu sekali lah," jelasnya.
Namun untuk skala presiden, Windhu mengatakan tesnya harus ditingkatkan menjadi seminggu sekali. Hal ini bukan tanpa alasan, karena mobilitas presiden cukup tinggi dalam kesehariannya.
"Presiden seminggu sekali dilakukan. Di kalangan asisten rumah tangga seminggu sekali harus swab test dilakukan. Menerima tamu harus berlapis, semua protokol kesehatan harus dilakukan. Misalnya mereka yang akan datang kepada presiden. Misal bupati akan ketemu Mendagri. Ini harus test dulu sebelum berangkat. Paling ndak swab test dilakukan. Dan itu sama, di pihak yang didatangi harus melakukan hal yang sama," papar Windhu.
"Setiap pimpinan daerah dan nasional harus melalukan protokol kesehatan yang lebih ketat. Memang biayanya lebih besar tetapi untuk menggantikan itu semua itu cost besar. Tidak hanya uang tapi ada cost sosial dan sebagainya. Jadi harus betul-betul ketat protokolnya. Jadi harus berbeda dengan orang biasa," pungkasnya. (hil/fat)