Pakar Sebut COVID-19 di Surabaya Tinggi Karena Masyarakat Tak Patuh Jika Dipaksa

Pakar Sebut COVID-19 di Surabaya Tinggi Karena Masyarakat Tak Patuh Jika Dipaksa

Amir Baihaqi - detikNews
Selasa, 28 Jul 2020 14:21 WIB
Bagong Suyanto
Prof Bagong Suyanto (Foto: Istimewa)
Surabaya -

Kota Pahlawan menempati posisi teratas 10 kabupaten/kota dengan kasus kematian tertinggi COVID-19 se-Indonesia. Total ada 803 pasien meninggal di Surabaya dari data yang dikeluarkan BNPB per 26 Juli.

Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Dr Bagong Suyanto menyebut ada dua faktor yang membuat kasus COVID-19 dengan angka kematian di Kota Pahlawan begitu tinggi. Dua faktor itu yakni struktural dan sub kultur.

"Saya kira ini lebih karena faktor struktural dan subkultur masyarakat Surabaya yang cenderung resisten jika dipaksa-paksa," kata Bagong saat berbincang dengan detikcom, Selasa (28/7/2020).

Bagong menjelaskan struktural dalam hal ini adalah permukiman di Surabaya begitu padat sehingga penularan COVID-19 begitu cepat dan masif. Sedangkan sub kultur, sikap masyarakat yang resisten saat disuruh untuk mematuhi protokol kesehatan.

"Kalau struktural itu kan banyak di Surabaya permukiman yang padat penduduk dan klaster-klasternya itu kan lebih banyak di daerah dengan kepadatannya tinggi, terutama di masyarakat menengah ke bawah," terang Bagong.

"Yang kedua saya kira juga berkaitan dengan sub kultur masyarakat Surabaya yang memang cenderung resisten kalau diatur. Nah, ini menurut saya kombinasi faktor yang membuat Surabaya itu tinggi angka COVID-19 dan kematiannya," imbuhnya.

Tonton video 'Jokowi Minta Vaksin Corona Selesai 3 Bulan, LIPI: Sulit Terlaksana':

[Gambas:Video 20detik]

"Mereka nurut kalau ada operasi. Tapi cenderung tidak kalau tidak ada operasi penertiban," lanjut Bagong.

Menurut Bagong, dalam menghadapi masyarakat yang seperti itu, dia menyarankan pemerintah tidak melakukan pendekatan dengan ancaman dan sanksi. Tapi lebih ke pendekatan yang persuasif dan kreatif, agar masyarakat terdorong untuk mematuhi protokol kesehatan.

"Ya sebaiknya tidak dengan ancaman sanksi ya. Tapi lebih mengembangkan pendekatan-pendekatan yang persuasif yang lebih kreatif dan membuat masyarakat terdorong mematuhi protokol," tutur Bagong.

"Kalau menurut saya pendekatannya harus memakai pendekatan yang berbasis gaya hidup masyarakat. Supaya orang memakai masker bukan karena risiko medis. Tapi karena dia merasa keren, dia merasa kalau memakai masker itu identitas sosialnya keluar dan sebagainya," jelasnya.

"Misalnya masker bonek. Itu kan membuat anak-anak bonek mau memakai. Arema ya memakai masker Arema. Kalau anak SMP nama ya dibuatkan masker SMP mana. Kalau dia bangga dengan sekoahnya ya pasti mau pakai," pungkas Bagong.

Halaman 2 dari 2
(fat/fat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya
Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.