Massa mulai bergerak dengan berjalan kaki dari Jalan A Yani menuju simpang empat depan gedung DPRD Kota Blitar. Mereka juga mengusung keranda mayat sebagai simbol matinya demokrasi di negeri ini.
Koordinator aksi Ardan Abadan menilai sejarah pergerakan dan demokrasi Indonesia menunjukkan peran sentral mahasiswa dalam menentukan arah kebijakan negara. Namun dalam menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) omnibus law ini, legislatif terkesan menutupinya. Pembahasan tidak sampai ke rakyat, tiba-tiba RUU-nya masuk prolegnas.
Padahal beberapa klausul dalam RUU omnibus law itu banyak yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Seperti pengurangan gaji, jam kerja dan diskriminasi kepada pekerja perempuan. Masuknya investor asing secara besar-besaran ke Indonesia dan beberapa aturan lain yang merugikan petani di Indonesia.
"Jadi kami mahasiswa mengajak dewan, aparat dan semua elemen masyarakat bersatu padu membela kepentingan rakyat. Kita harus bersama-sama bagaimana membuat negara ini lebih baik lagi," kata Ardan kepada detikcom, Jumat (24/7/2020).
Massa juga mewarnai demo ini dengan aksi teatrikal. Mereka mengusung keranda dan menghancurkan sebuah rumah sebagai simbol hancur dan matinya demokrasi di negeri ini. Aksi teatrikal ini menjadi tontonan pengendara yang melintas di jalan.
"Kami juga minta DPR secara politik membatalkan Omnibus Law. Dan agar rekomendasi dan semua yang kami sampaikan bisa tersampaikan hingga ke DPR RI," imbuhnya.
Anggota DPRD Kota Blitar, Johan Marriot yang menemui massa mahasiswa berjanji akan menyampaikan aspirasi mahasiswa ke DPR RI.
"Kami menerima semua aspirasi dari adik-adik mahasiswa. Kami akan menyampaikan aspirasi adik-adik mahasiswa ke DPR RI," kata Johan .
Aksi massa ini membuat petugas kepolisian menutup akses menuju Jalan Merdeka Kota Blitar. Massa membubarkan diri dengan teratur, beberapa saat menjelang salat Jumat berlangsung.
Tonton video 'Demo di DPR Tak Patuhi Physical Distancing, KASBI: Ini di Luar Dugaan':
(iwd/iwd)