Blitar -
Sosok dr Soetjipto ramai didiskusikan usai muncul foto pembacaan teks Proklamasi dengan angle lain. Siapakah dr Soetjipto dan apa perannya dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia?
Foto pembacaan teks Proklamasi yang berbeda itu ditemukan Sejarawan Rusdhy Hoesein, di Perpustakaan Kerajaan Belanda di Den Haag. Ada 13 foto sejenis dengan beragam sudut pandang yang ia reproduksi dan dibawa ke Indonesia pada 2005.
"Dari hasil diskusi dan kesaksian beberapa pelaku ketika masih hidup dalam peristiwa pembacaan teks Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur itu, kami yakini pria yang berdiri di belakang kiri Bung Karno adalah Eisei Chudanco dr Soetjipto," kata Rusdhy saat dikonfirmasi detikcom, Minggu (21/6/2020).
Foto pembacaan teks Proklamasi dalam pengajuan pahlawan perintis kemerdekaan/ Foto: Erliana Riady |
Rusdhy lalu memaparkan, dalam struktur organisasi tentara PETA, pangkat Eisei Chudanco berada di bawah Danton. Eisei menunjukkan jabatan strategis perwira bagian kesehatan. Nama dr Soetjipto Gondoamidjojo tercatat sebagai Eisei Chudanco di Daidan 1 Jakarta pada 1945.
Rentetan peristiwa bersejarah hingga pembacaan teks Proklamasi oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945, tak bisa dilepaskan dari pemberontakan PETA Blitar pada 14 Februari 1945. Semangat pemberontakan melawan penjajah yang dimulai di Blitar, memicu tentara PETA daerah lain untuk melakukan pemberontakan serupa.
Tonton juga video 'Wacana Gelar Pahlawan, Hendropriyono: Sultan Hamid II Pengkhianat':
Menurut Rusdhy, kala itu PETA daerah lain tidak ingin pemberontakannya gagal seperti yang terjadi di Blitar. Dalam buku karya Sudancho Oemar Bahsan ditulis, Eisei Chudanco dr Soetjipto sering memimpin rapat rahasia perwira PETA yang bertugas di Rengasdengklok dan Daidan 1 Jakarta.
Pada 15 Juni 1945, rapat itu membahas bagaimana langkah PETA berjuang meneruskan pemberontakan PETA Blitar untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Di buku Peristiwa Rengasdengklok karya Oemar Bahsan halaman 32 tertulis, 'dr Tjipto membentangkan, bahwa ia sudah mengadakan hubungan ke chudanco di semua Daidan seluruh Djawa. Oleh karena itu semua perdjoangan dalam PETA harus dipusatkan kepadanja'.
"Kesaksian para pelaku ketika Yayasan PETA (Yapeta)melakukan rekonstruksi peristiwa Rengasdengklok pada 1995, mereka menyebut ada kelompok Kipas Hitam yang dipimpin dr Tjipto. Kelompok inilah yang secara rahasia mendesain semua peristiwa menuju kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 ditandai pembacaan teks Proklamasi itu. Tapi siapa yang percaya saya sekarang, wong pelakunya sudah pada meninggal semua," tutur alumni Universitas Indonesia itu.
Rusdhy menyebut, tak ada satupun yang pernah menulis dan mendokumentasikan kegiatan intelijen yang bersifat rahasia. Namun dari kajian ilmiah, dokumentasi yang masih tersimpan di museum Yapeta Bogor dan kesaksian pelaku sejarah dalam rekonstruksi Rengasdengklok 1995 itu, bisa disimpulkan bahwa selain sebagai perwira bagian kesehatan, kiprah dr Soetjipto banyak dilakukan dalam kegiatan intelijen.
Masih dari buku Oemar Bahsan, diceritakan bagaimana Soetjipto mengatur skenario penculikan Soekarno-Hatta dan pemilihan tempat Rengasdengklok sebagai lokasi mengamankan dua tokoh bangsa itu.
"Menurut saya, posisi dr Tjipto di kesehatan ini kan punya cakupan luas ke semua perwira. Ruang geraknya juga lebih bebas. Dan dia punya minat dalam operasi intelijen sehingga tidak mudah tercium oleh pasukan Jepang waktu itu," ungkap Rusdhy.
Di halaman 32-33 dituliskan, perundingan diadakan antara lima orang. Dari Jakarta yakni Chudanco dr Soetjipto, Chudanco Singgih dan Mufraeni. Dari Dengklok yakni Chudanco Subeno dan Oemar Bahsan.
"Ia mengusulkan bahwa Soekarno dan Mohammad Hatta dibawa keluar Jakarta untuk diminta perundingan Proklamasi. Pemilihan tempat diusulkan oleh dr Soetijpto dan Singgih yaitu di Rengasdengklok," lanjutnya.
Dr Soetjipto disebut memiliki peran penting sebelum Proklamasi, pengamanan saat dibacakan teks Proklamasi dan mempertahankan kemerdekaan. Soetjipto melakukan konsolidasi dan mengkondisikan massa secara intensif.
Ini juga dituliskan Her Suganda dalam bukunya Rengasdengklok, di halaman XXVIII. 'Tetapi, satu hal yang tidak bisa dilepaskan, di kota kecil ini terjadi deal bentuk yang lebih halus dan kompromi antara Bung Karno dan Bung Hatta di satu pihak dengan pemuda dan PETA yang diwakili oleh Soekarni, dr Soetjipto dan Singgih di lain pihak. Sehingga sebelum meninggalkan Rengasdengklok pada sore harinya, kedua pemimpin bangsa Indonesia tersebut bersedia memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada keesokan harinya'.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini