Blitar -
Banyak dari kita yang sering melihat foto pembacaan teks Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, 17 Agustus 1945. Namun tak banyak yang tahu siapa tokoh yang berdiri di belakang Soekarno, tepat di sebelah kanan Mohammad Hatta.
Dalam foto itu, tampak pria sebaya dengan Bung Hatta mengenakan seragam seperti pasukan Jepang. Pada pertengahan Oktober 2015, reproduksi kedua foto itu dipamerkan di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Pasar Baru Jakarta Pusat.
Tak ada yang tahu siapa sosok berkacamata di belakang Soekarno itu. Sebelumnya sosok itu diduga Saleh Tedjakusuma, seorang perwira PETA dari Kesatuan Yugeky (intelijen).
Sementara cerita dr Soetjipto kemudian tenggelam ditelan zaman. Kabar tentang dr Soejipto kemudian muncul kembali di Kota Blitar, ketika Yayasan PETA (Yapeta) Blitar mengusulkan namanya menjadi Pahlawan Perintis Kemerdekaan. Detikcom berkesempatan menemui seorang pengurusnya, Handoyo Prijo Soetijo yang masih keluarga dekat dr Soetjipto. Mereka berdua, sama-sama masih keturunan Patih Blitar, Djojodigdo.
"Dokter Raden Soetjipto Gondoamidjojo itu keturunan Eyang Djojodigdo dulu Patih di Blitar. Beliau dimakamkan jadi satu areal dengan makam Eyang Djojodigdo di sini," kata Handoyo saat ditemui detikcom di Blitar, Senin (22/6/2020).
Handoyo bersama tim ekspedisi PETA Blitar juga menemui anak-anak dr Soetijpto di kediaman mereka, Jalan Wijaya Kusuma Cilandak, Jakarta Selatan. Kedua putra dr Soetjipto itu yakni Agus Glenharto dan Buddy Rizanto.
"Dua putra beliau meyakini, jika pria di belakang Soekarno itu ayahnya. Mas Agus Glenharto dan Buddy Rizanto meyakini ayahnya hadir di acara 17 Agustus 1945 itu. Di era 1990an, mereka selalu diundang mewakili ayahnya menghadiri upacara Proklamasi di Pegangsaan Timur 56. Lengkap dengan pakaian yang dikenakan Eisei Chudanco dr Soetjipto saat 1945," papar Handoyo.
Tonton video 'Eksklusif! Melihat Naskah Asli Proklamasi Indonesia':
Sekarang, upacara peringatan Proklamasi sudah tak pernah dilakukan lagi di Jalan Pegangsaan Timur 56. Untuk memastikan apakah dr Soetjipto yang dimakamkan di Blitar ini merupakan pria yang berdiri di belakang Soekarno saat pembacaan teks Proklamasi, detikcom dihubungkan dengan sejarawan Indonesia, Rusdhy Hoesein.
Dalam wawancara via telepon, Rusdhy mengaku menemukan foto asli pembacaan teks Proklamasi disimpan di Koninklijke Bibliotheek. Atau Perpustakaan Kerajaan Belanda di Den Haag.
"Pada Agustus 2005, saya berkesempatan ke sana. Lalu reproduksi pertama saya bawa ke Indonesia untuk saya teliti dalam bahan disertasi saya berjudul 'Terobosan Soekarno Dalam Perundingan Indonesia-Belanda' untuk meraih gelar Doktor Sejarah," kata Rusdhy mengawali cerita.
Dalam proses penelitian itu, Rushdy banyak berdiskusi dengan sejarawan lain yang tergabung dalam Komunitas Historia Indonesia (KHI). Termasuk dengan ahli hukum yang sering menulis sejarah Indonesia, Adi Kusuma (90). Adi mengenal langsung dr Soetjipto dan sering berkomunikasi ketika masih hidup. Mereka ingin memastikan, apakah sosok pria berbaju PETA itu memang dr Soetjipto.
Dilihat dari struktur organisasi PETA yang dipajang di Museum Yapeta di Bogor, dr Soetjipto berpangkat Eisei Chudanco ( Perwira Kesehatan). Dalam sebuah peristiwa besar kenegaraan, posisi dan jabatan yang berdiri paling dekat dengan Soekarno tentu orang yang diberi kepercayaan dan berpangkat tinggi di PETA.
"Iya demikianlah. Kami sepakat itu sosok dr Soetjipto. Kami diskusikan habis-habisan itu. Ada yang berpendapat jika itu seorang perwira, Sudancho Saleh Tedjakusuma. Tetapi pangkatnya terlalu rendah untuk diizinkan berdiri di situ. Yang tampak di situ, pangkatnya lebih tinggi setingkat Chudanco ya dr Tjipto itu," tambah sejarawan Yapeta sejak 1995 itu.
Rushdy menambahkan, hadir juga tentara PETA berpangkat paling rendah Sudancho, yang berdiri di depan Soekarno. Di antaranya Sudancho Latief Hendraningrat yang berperan sebagai pengibar Bendera Merah Putih.
Beberapa serdadu PETA lainnya bertugas menjaga sebuah kamar di rumah Pegangsaan Timur 56, di luar halaman rumah dan sekitar rel kereta api dekat lokasi pembacaan teks Proklamasi.
Ketika Yapeta menggelar rekonstruksi peristiwa Rengasdengklok pada 1995, Rusdhy mengaku dilibatkan untuk mengumpulkan fakta-fakta sejarah itu. Dia mengaku, masih bertemu dengan para pelaku sejarah Rengasdengklok di antaranya Sudancho Oemar Bahsan dan Kemal Idris.
"Mereka mengaku bertemu dr Soetjipto saat pembacaan teks Proklamasi itu. Bahkan Oemar Bahsan itu menulis secara rinci peristiwa Rengasdengklok. Menurut mereka, dr Soetijipto memang bukan tokoh sentral Proklamasi. Tapi terlibat langsung dalam pengamanan Rengasdengklok dan pembacaan teks Proklamasi di Pegangsaan Timur itu," kata pria berusia 75 tahun itu.
Beberapa media nasional menulis, dr Soetijpto meninggal pada 5 Mei 1980. Jenazahnya dimakamkan di Blitar, tepatnya di Pesanggrahan Djojidigdan Jalan Melati 43 Kota Blitar.
"Iya benar. Dokter Soetijpto dimakamkan di Kota Blitar. Saya sering ke sana, sekalian ke Makam Bung Karno," pungkasnya.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini