Gelombang 'tsunami' di Danau Kawah Ijen tidak terjadi setiap tahun. Seperti yang disampaikan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).
Menurut Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Barat pada PVMBG, Hendra Gunawan, ada gelembung besar akibat pertemuan permukaan suhu yang berbeda. Yakni antara air kawah yang panas dan air hujan yang dingin.
"Betul. Tapi kejadian pecahnya gelembung gas besar belum setiap tahun," ujar Hendra kepada detikcom, Selasa (2/6/2020).
Berdasarkan data Pos Pengamatan Gunung Api (PPGA) Ijen, tercatat bahwa fenomena gelombang 'tsunami' itu sudah tiga kali terjadi sejak 2012. Namun dua gelombang sebelumnya tak sebesar yang terjadi pada Jumat (29/5).
Sayangnya, PPGA Ijen tidak memiliki alat untuk mengukur tinggi gelombang di Danau Kawah Ijen tersebut. Namun saksi mata memperkirakan tinggi gelombang mencapai 3 meter.
"Kami tidak memiliki alat untuk mengukur gelombang. Hanya pada kesaksian dari saksi mata yang sempat selamat melarikan diri," tambahnya.
Gelombang yang terjadi, menurut Hendra, sulit diperkirakan. Hanya saja, intensitas hujan yang tinggi berpotensi membentuk gelembung dan menciptakan gelombang di Danau Kawah Ijen.
"Jadi sulit memperkirakannya. Kalaupun gelembung gas pecah efeknya hanya beberapa detik saja dan kondisi kawah kembali normal. Karena kejadiannya tiba-tiba dan singkat. Kejadian itu terekam oleh alat monitoring gas, menunjukkan kejadian mendadak," lanjutnya.
Jumat (29/5), terjadi gelombang mirip tsunami di Danau Kawah Ijen, Banyuwangi. Dalam peristiwa itu, seorang penambang belerang tewas. Jenazahnya ditemukan mengapung di danau keesokan harinya.