.webp)
"Kalau hitungan saya sampai 50 persen. Datangnya kadang ke UGD. Seperti di Soewandi, BDH itu datang ke UGD," kata Risma di di halaman Balai Kota Surabaya, Senin (11/5/2020).
Menurut Risma, hal ini justru membuat beban Surabaya semakin berat. Sebab pemkot tidak tahu apakah keluarganya termasuk OTG dan sudah kemana saja.
"Kita bebannya berat, apakah keluarganya bukan OTG. Kalau dia OTG dia kemana-mana kan kita juga berat," ujarnya.
Risma mengatakan, pasien dari luar Surabaya ini harus mengikuti protokol yang ada. Jadi tidak semua pasien bisa masuk dan langsung diterima. Karena akan memberi beban berat bagi Surabaya.
"Padahal protokolnya kan harus diikuti. Kalau sedang-sedang saja (keluhannya) kenapa harus dirujuk di RS Surabaya," jelasnya.
Sementara itu, Ketua IDI Surabaya Brahmana Askandar mengatakan bahwa rumah sakit di Surabaya merupakan rumah sakit rujukan pasien Corona se-Jatim. Harapannya kota-kota lain seperti malang ada RS rujukan dengan perlengkapan lengkap seperti di Surabaya.
"Nah ini mungkin ke depan, ada juga Malang, lengkap juga. Jadi nanti kita dari segi profesi dan Persi mungkin nanti kita mensosialisasikan bagaimana rujukannya, sehingga mungkin yang bisa ditangani di daerah tidak semua dirujuk ke Surabaya," paparnya.
Karena, lanjut Brahmana, sebetulnya sudah belasan RS menjadi pusat rujukan COVID-19 di Jatim. Mungkin hanya perlu disosialisasikan dan berdiskusi dengan RS daerah agar tidak semua pasien dirujuk ke Surabaya.
"Karena sudah ditetapkan untuk rumah sakit rujukan di Jatim dan itu dianggap mampu menangani pasien COVID-19, baik dari segi fasilitas maupun sumber dayanya," pungkasnya. (iwd/iwd)
