Gubernur Khofifah Indar Parawansa akhirnya mengirim surat pengajuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Surabaya Raya pada Menteri Kesehatan. Jika tidak diajukan sekarang, sejumlah pakar menilai kasus di Surabaya akan semakin parah.
Tim Surveillance COVID-19 Universitas Airlangga, DR. Dr. Windhu Purnomo, M.S, yang juga melakukan kajian epidemiologi sebagai rujukan pengajuan PSBB Surabaya Raya mengatakan jumlah bed di RS Surabaya sangat terbatas.
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair ini mengatakan Sejumlah RS di Surabaya telah nampak keteteran dalam dua minggu ini.
"Pihak-pihak gugus tugas percepatan penanggulangan COVID-19 Jawa Timur meminta saya untuk membuat kajian, 2 minggu ini rumah sakit rujukan di Surabaya sudah keteteran," kata Windhu kepada detikcom di Surabaya, Senin (20/4/2020).
Menurut Windhu, keputusan PSBB di Surabaya Raya itu sudah mutlak dan tidak dapat ditawar. Karena, tenaga kesehatan juga semakin kewalahan akibat pasien yang selalu bertambah.
"Jadi mutlak Surabaya itu, kalau dibiarkan kematian akan meningkat, RS ndak nampung lagi, dokter akan kelelahan, perawat kelelahan dan stres, dokternya ikut sakit dan meninggal. Itu yang terjadi di Surabaya," jelas Windhu.
Windhu menyebut sejumlah dokter hingga perawat cukup kewalahan karena bed isolasi di Surabaya terbatas. Sedangkan pasien setiap harinya selalu bertambah.
"Keteteran karena bed isolasi untuk COVID-19 itu sudah over capacity. Bed isolasi di rumah sakit rujukan totalnya 260 karena rumah sakit kita terbatas dan untuk di rumah sakit kita ndak semuanya untuk COVID-19 karena masih ada yang untuk Pasien biasa. Sejak seminggu yang lalu sekitar 10 hari yang lalu, itu sudah pasien positif corona termasuk ODP dan PDP itu sudah melebihi dari kapasitas tadi," paparnya.
PSBB Belum Efektif, Masih Banyak Kantor-Pabrik yang Bandel:
Sementara untuk bed tekanan negatif, yang digunakan pasien COVID-19 yang cukup parah, Windhu menyebut bed ini juga sudah penuh.
"Ini khusus untuk mereka yang kasusnya berat. Dari 260 ini kita hanya punya 111 dan itu sejak awal sejak akhir Maret sudah terlampaui, jika ada pasien berat masuk sudah ndak bisa ditampung, kecuali rebutan atau bagaimana," ungkapnya.
Nah, jika pasien Corona yang statusnya sudah cukup parah tidak mendapatkan bed negatif, Windhu mengatakan hal ini bisa berdampak pada kematian yang meningkat.
"Kalau pasien seperti itu ndak bisa masuk, kematian akan meningkat. Itu concern utama gugus tugas, mereka minta saya untuk mengkaji. Nah kan kita lihat data dari yang kritis itu Surabaya, saya dapat data dari Surabaya yang dipasok Dinkes Jatim. Jadi kalau kita lihat, kenapa itu bisa terjadi? Karena kalau dalam bahasa Jawa, sumur itu dikuras terus itu nyumber terus artinya keluar air terus. Munculnya dari masyarakat, penularan terus terjadi di masyarakat," jelas Windhu.
Windhu pun juga menyesali imbauan pemerintah yang diacuhkan masyarakat. Dia melihat banyak warga yang masih berkerumun hingga nongkrong.
"Kalau di Surabaya saya ini kan sudah WFH, hanya keluar kalau urusan paling penting saja. Waktu ada urusan keluar, ternyata masih banyak yang masih nongkrong. Kok ndak ada bedanya dengan sebelumnya, lebih sepi hanya karena mahasiswa dan anak sekolah libur. Lainnya tetap biasa orang nongkrong dan bergerombol ada di mana-mana," sesal Windhu.
"Kita kan tidak tahu, apalagi banyak Orang Tanpa Gejala yang ikut menularkan," pungkasnya.