Di tengah memerangi pandemi COVID-19 di Kota Malang, Wali Kota Sutiaji melakukan peletakan batu pertama pembangunan gedung bersama senilai Rp 45 miliar lebih.
Pemkot Malang dinilai mencederai hati masyarakat Kota Malang dengan tetap dibangunnya gedung ini di tengah pandemi corona.
Gedung bersama akan berdiri di belakang Balai Kota Malang Jalan Tugu. Peletakan batu pertama secara langsung dilakukan Sutiaji pada Kamis (9/4/2020).
Nantinya, keberadaan gedung 4 lantai itu akan difungsikan oleh beberapa perangkat daerah secara terintegrasi. Tujuannya untuk memudahkan akses sekaligus memperpendek rentang kendali layanan kepada masyarakat dengan efektif dan efisien.
![]() |
Tender pembangunan dimenangkan PT Artomzaraya senilai Rp. 45.431.697.000. Pembangunan ditargetkan rampung pada akhir tahun 2020.
"Rencananya penyelesaian pembangunan dilakukan selama 270 hari kalender, itu dalam kondisi normal tapi pekerjaan inikan dilaksanakan pada kondisi COVID-19 artinya bahwa SOP-nya tetep tidak lebih dari tiga puluh orang, maka ini jelas akan membawa dampak, tapi mudah-mudahan tetap 270 hari kalender," kata Sutiaji dalam keterangan resmi ,Jumat (10/4/2020).
"Ini artinya bahwa kita dalam situasi corona-pun harapan kami perputaran keuangan di Kota Malang tetap bisa jalan," sambung Sutiaji.
Malang Corruption Watch (MCW) menilai bahwa tindakan Pemerintah Kota Malang tetap melanjutkan pembangunan proyek gedung bersama pada saat wabah COVID-19 adalah tindakan yang mencederai hati rakyat Kota Malang.
Selain itu, langkah tersebut mencerminkan Pemkot Malang tak memiliki semangat pencegahan penyebaran virus COVID-19.
"Dalam situasi pandemi seperti ini, Pemerintah Kota Malang melalui walikota harus memiliki jiwa Sense Of Crisis, jiwa kepekaan, kewaspadaan, ketergesaan, kesegeraan, yang pada akhirnya kesigapan dalam menghadapi krisis. Tahu mana permasalahan yang sangat mendesak untuk segera diselesaikan dan ditanggulangi," ujar Wakil Koordinator MCW Ibnu Syamsu Hidayat dalam siaran persnya.
Ibnu menambahkan, pandemi COVID-19 dapat dikatakan sebagai kondisi force majeure, seperti di Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata.
"Force majeure relatif yakni suatu keadaan dimana terjadi keadaan-keadaan tertentu yang menyulitkan rekanan untuk melaksanakan kontrak (pembatasan perjalanan) waalaupun dilaksanakan, maka rekanan harus melakukan pengorbanan tertentu yang membuat kontrak tersebut menjadi tidak praktis lagi untuk dilaksanakan (impracticability)," imbuhnya.
"Konsekuensinya, pelaksanaan kontrak dapat ditunda sampai keadaan tersebut berakhir. Selain itu, di Pasal 55 Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang pengadaan barang dan jasa mengatur juga tentang keadaan force majeure atau kahar," sambung Ibnu.
Oleh karena itu, MCW mendesak kepada Pemkot Malang untuk mengutamakan penanganan COVID-19 baik dalam segi pendidikan, ekonomi, dan kesehatan akibat dampak COVID-19.