Seorang tetangga, Ida bercerita, penampilan Eni seperti itu sudah sejak dia ditinggal neneknya. Eni waktu itu masih kelas 2 SD saat neneknya meninggal. Eni kemudian ikut keluarga aslinya yang saat ini tinggal di RT2 RW 8 Desa Kedawung, Nglegok.
"Piye yo mbak, kalau dari cara berjalan, tangan kirinya agak kiter, diajak omong kadang nyambung tapi banyak enggaknya. Sering bicara sendiri. Kalau misal tidak cocok sama keinginan dia yang tidak tersampaikan juga marah-marah. Kasihan dia," tutur Ida.
Ida menilai, selama ini Eni tidak merepotkan keluarganya. Dia mencari uang untuk membeli makan sehari-hari. Bagi Eni, rumah orang tuanya hanya tempat untuk beristirahat malam. Karena sejak usai Subuh sampai menjelang Magrib, Eni keluar rumah membawa arko untuk mencari uang.
"Sejak kecil sudah bisa cari uang sendiri. Dulu jualan jajan di pengajian, mengumpulkan rongsok. Pas musim durian seperti sekarang ya jualan durian," imbuhnya.
Meski kondisinya seperti itu, Eni tidak pernah mengiba belas kasihan. Apalagi mengemis kepada orang lain. Apapun yang bisa menghasilkan uang akan dia kerjakan.
Tak hanya Ida yang bercerita seperti itu. Detikcom berusaha menggali sepengal cerita tentang Eni. Dan di antara lima warga desa yang mengenal Eni sejak lama, semua punya versi cerita yang sama.
"Enggaklah kalau trik biar duriannya laku. Dari dulu dandannya memang sudah begitu. Dia jarang berkomunikasi dengan orang lain memang. Hari-harinya ya keliling bawa arko. Kalau tidak kulakan durian ya cari rongsokan," tambah Titik, tetangga lainnya. (fat/fat)