Sebab, sejak diperingatkan Pemprov Jatim pada Juni 2019 hingga sekarang belum juga tampak nyata hasil revisi amdalnya. Karena itu, Komisi III DPRD Kabupaten Blitar kembali memberi waktu sepekan kepada PT Greenfield memutuskan dua opsi.
Pertama, aplikasi penyaluran limbah cair yang menuju lahan sengon dan kopi ditutup total. Karena jika curah hujan tinggi, limbah itu akan meluncur ke sungai yang datarannya lebih rendah. Kedua, mengurangi jumlah populasi sapi dengan menyesuaikan kapasitas penampungan limbah yang sudah tersedia.
"Ternyata progress report mereka nggak jauh beda dengan hearing saat kami undang beberapa saat lalu. Kami menilai tindakan yang dilakukan PT Greenfield tidak efektif untuk menyelesaikan masalah ini. Ndablek. Sudah diingatkan sejak lama tapi masih mikir untungnya sendiri saja. Padahal hasil sidak kami, warga terdampak sangat serius butuh solusi tercepat. Makanya kami beri waktu sepekan untuk memutuskan dua opsi itu tadi," kata Sekretaris Komisi III DRPD Kabupaten Blitar Panoto seusai hearing kepada detikcom, Rabu (29/01/2020).
Dengan populasi sapi perah 7.000 ekor, kandang ini menghasilkan limbah sekitar 1.200 meter kubik per hari. Padahal kandang dan pemerahan sapi seluas 172 hektare ini hanya punya satu lagoon atau penampungan limbah. Luasnya 25 x 35 meter, kedalaman 6 meter, dengan kapasitas tampung sekitar 540 meter kubik. Lagoon berjarak 1,5 meter dari kandang ini pun sekarang sudah tidak difungsikan sejak jebol dan menghantam lahan dan kandang warga terdekat pada 18 Desember 2018.
Pantauan detikcom di lokasi kandang dan pemerahan susu sapi ini, limbah sekarang diolah dengan dua sistem. Pertama, ada penguraian limbah cair dan padat yang kemudian diambil pihak lain untuk pupuk. Kedua, disalurkan melalui pipa-pipa panjang ke lahan sengon dan kopi di sekitar kandang.
Posisi kandang sapi perah ini di lereng perbukitan Gunung Kawi dengan ketinggian sekitar 1.700 mdpl. Sedangkan lahan sengon dan kopi sebagian besar berada di kemiringan sekitar 45 derajat.
![]() |
Lahan sengon dan kopi itu ada di sisi timur dan barat pabrik. Di sisi timur yang sederetan dengan perbukitan Gunung Kawi, mengalir Sungai Genjong di Desa Ngadirenggo, menuju Sungai Mbambang di Kecamatan Kesamben dan bermuara di Sungai Brantas di Kecamatan Selopuro.
Sedangkan di sisi barat sederetan dengan perbukitan Gunung Kelud, mengalir anak Sungai Kubu di Desa Ngadirenggo yang bermuara di Sungai Lekso Kecamatan Wlingi. Kontur tanah miring membuat limbah yang disalurkan ke lahan sengon dan kopi akan meluncur menuju dua aliran sungai itu jika terjadi curah hujan tinggi.
"Kami pikir, dua opsi inilah cara tercepat supaya aliran air sungai tidak lagi tercemar lagi. Soal menutup, kami sangat menghargai nilai investasi. Tapi jangan mengorbankan kepentingan masyarakat dan lingkungan," tandas Panoto.
Menanggapi dua opsi dari Dewan ini, Head of Dairy Farm Greenfield Heru Pramono menyatakan akan dibahas kembali dengan tim operasional dan level manajerial yang lebih tinggi.
"Opsi yang disampaikan Dewan harus kami pertimbangkan ya. Saya tidak bisa memutuskan sendiri dan akan kami bahas dengan level yang lebih tinggi. Jadi, ketika diundang hearing lagi, kami sudah punya jawabannya," jawab Heru.
Heru menandaskan pihaknya juga serius menangani soal limbah ini. Banyak hal yang telah mereka lakukan, namun memang butuh waktu untuk melakukan berbagai pembenahan mengingat baru dua tahun usaha ini beroperasi.
"Tentang warga yang dirugikan, kami sudah mendapat laporan dari pamong desa. Namun kami masih fokus membenahi aplikasi jalur limbah ini. Yang pasti akan kami lakukan verifikasi dulu terkait kerugian itu," pungkasnya. (fat/fat)