Arak oplosan model baru ini bukanlah fermentasi beras ataupun bahan alami lainnya. Namun dari air sumur di Kecamatan Muncar, Banyuwangi, mereka mampu menghasilkan uang Rp 4,2 juta/produksi.
Kapolresta Banyuwangi, Kombes Pol Arman Asmara Syarifuddin mengatakan terungkapnya produksi miras oplosan tersebut berawal dari laporan masyarakat, yang resah atas peredaran barang haram tersebut di Kecamatan Muncar.
"Setelah dilakukan penyelidikan, polisi akhirnya menggerebek rumah kontrakan di Muncar yang dijadikan tempat produksi arak oplosan. Dua orang pelaku berhasil kita tangkap, yakni sebagai penjual," kata kapolresta kepada detikcom, Kamis (23/01/2020).
Polisi juga berhasil menyita barang bukti yakni 10 jeriken ukuran 20 liter berisi etanol (total 200 liter), 1 jeriken ukuran 5 liter berisi arak, 11 karung plastik berisi masing-masing berisi 25 botol arak ukuran 600 ml (total 165 liter).
Menurut kapolresta, arak ciptaan keduanya ini memiliki bahan dasar arak oplosan dari etanol dan air sumur mentah. Tersangka mencampurkan etanol 13 liter dengan 18 liter air sumur dalam jeriken ukuran 30 liter. Kemudian setelah dioplos dikemas dalam botol ukuran 600 mili liter
"Arak oplosan yang diproduksi tersangka terbilang cukup berbahaya. Tersangka menggunakan etanol sebagai bahan dasar arak oplosan tersebut yang kemudian dioplos dengan air sumur," kata Kapolresta.
Tersangka MS menjual arak buatannya seharga Rp 17.000/botol kepada tersangka GE. Selanjutnya oleh tersangka GE dijual seharga Rp 25.000/botol kepada masyarakat. "Sasarannya semua kalangan. Mulai dari remaja hingga orang dewasa," ungkapnya.
Kedua tersangka tergiur menjalankan bisnis haram tersebut lantaran keuntungan yang sangat besar. "Ini sudah 3 kali kirim sehingga total omset yang diperoleh MS sebesar Rp. 12.750.000. Sedangkan omset tersangka GE 3 kali kiriman sebesar Rp. 18.750.000," imbuh Kapolresta.
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya kedua tersangka kini harus mendekam di jeruji tahanan. Keduanya dijerat pasal 204 ayat (1) KUHP tentang penjualan minuman keras tanpa ijin sebagaimana dimaksud dengan ancaman 15 tahun penjara dan subsidair pasal 142 UU RI No. 18 tahun 2012 tentang pangan dengan ancaman hukuman 2 tahun penjara.
(fat/fat)