"Tahun 80-an dulu pernah ada gempa besar. Tapi ndak sampai terjadi tsunami. Jadi bagi kami kabar seperti ini sudah biasa kami dengar," ucap Kateman (53), warga Pantai Teleng, Selasa (23/7/2019).
Kateman mengaku mendengar langsung kabar tersebut melalui media. Hanya saja dirinya tak langsung bereaksi. Sebab setahu dia, teknologi yang ada belum mampu memprediksi waktu terjadinya gempa.
"Yang penting adalah sikap waspada," tambahnya.
Hal berbeda dirasakan Andika (23). Gara-gara kabar tersebut, pria yang tempat tinggalnya hanya terpaut 200 meter dari teluk itu kerap susah tidur. Terlebih menjelang tengah malam. Kala itu suara lalu-lintas menghilang dan digantikan gemuruh ombak.
Selama ini, lanjut bapak satu anak tersebut, mitigasi bencana sudah menjadi tradisi sebagian besar warga. Bahkan saat mendadak ada guncangan gempa, mereka spontan keluar rumah menuju ke tempat lebih tinggi. Ini seperti saat gempa tengah malam, akhir 2017 lalu.
"Waktu itu semua warga sini serentak menuju ke (dataran tinggi) Jaten. Selain karena masih trauma dengan (bencana) banjir, warga juga siaga mengantisipasi tsunami," imbuhnya.
Meski kesiapsiagaan masyarakat pesisir Pacitan sudah terbangun, namun dia minta Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tidak berhenti sosialisasi. Pasalnya, ada sebagian kecil warga yang enggan mengungsi saat gempa terjadi. Tentu saja dibutuhkan kesabaran memberi pemahaman mereka.
Jokowi Minta BMKG dan BNPB Contek Jepang Soal Mitigasi Bencana:
(fat/fat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini