"Alasannya saat musim panen seperti ini para buruh tani meski tidak punya sawah bisa punya simpanan gabah," tutur salah satu buruh tani Tulus (60) saat ditemui detikcom di Desa Kunti, Kecamatan Bungkal, Kamis (4/4/2019).
Sebab, lanjut Tulus, sejak turun temurun para buruh tani yang bertugas memanen padi tidak dibayar dengan uang melainkan dengan gabah. Caranya dengan sistem 8:1 artinya 8 kilogram panen, 1 kilogram dimiliki oleh buruh tani.
Baca juga: Peduli pada Tenaga Kerja Pertanian |
"Kalau dibayar pakai gabah lebih menguntungkan, sebab besarannya kan disesuaikan dengan hasil panenan," terang dia.
Dalam sekali panen, Tulus biasanya mendapatkan 800 kilogram gabah. Namun hasil tersebut ia bagi bersama 3-4 orang buruh tani lainnya. Sebab, memanen padi memang dilakukan berkelompok. Satu orang bisa mendapatkan 200 kilogram gabah.
Jika dirupiahkan dalam luasan 1 hektare dia bisa memperoleh Rp 800 ribu. Namun jika padi terancam gagal panen, biasanya para buruh meminta upah.
"Besarannya Rp 60 ribu itu kalau sawahnya gagal panen, karena memanen itu susah dan berat," jelasnya.
Menurutnya, cara pembayaran dengan gabah ini dinilai lebih menguntungkan kedua belah pihak. Pihak buruh punya simpanan gabah sedangkan pemilik sawah tidak perlu repot-repot memikirkan biaya upah.
"Apalagi untuk buruh harga kebutuhan pokok terutama beras kan mahal, jika punya gabah sendiri tinggal digiling bisa dimakan sendiri tanpa beli beras lagi," imbuh dia. (sun/iwd)











































