Salah satu warga Desa Watubonang, Kecamatan Badegan, Ponorogo, Saeran mengatakan, tidak ada yang aneh dari keseharian puluhan warga yang pergi ke Malang. Layaknya masyarakat pada umumnya, mereka bekerja sebagai petani, salat berjamaah di musala dan berinteraksi dengan warga seperti biasa.
"Namun yang saya heran mereka pergi tidak ada yang pamitan," kata Saeran saat ditemui detikcom di lokasi, Rabu (13/3/2019).
Saeran menambahkan, 52 warga yang pindah ke Malang merupakan warga Dusun Krajan. Di dusun tersebut ada kelompok pengajian yang memberikan perlakukan sama terhadap semua jemaah yang hadir. Baik kepada anggota kelompok pengajian maupun kepada warga biasa. Bahkan, jemaah kelompok pengajian ada yang berasal dari luar desa.
"Mereka baik, tidak membedakan warga yang pengikut jamaah pengajian atau bukan," imbuhnya.
Kasun Dukuh Krajan Sogi membenarkan pernyataan Saeran. Para jamaah sering berbaur dengan masyarakat lain. Hanya saja tiap malam Rabu dan malam Sabtu, mereka menggelar pengajian rutin.
"Mereka juga yasinan, salat berjamaah sama saja tidak ada yang aneh," kata Sogi.
Sogi mengaku heran setelah doktrin tentang kiamat, puluhan warganya perlahan meninggalkan kampung dan pindah ke Malang. Bahkan, mereka rela menjual tanah atau rumah dengan harga Rp 10 juta hingga Rp 30 juta.
"Saya juga nggak tahu, mereka nanti kalau kembali lagi ke sini terus gimana hidupnya, apalagi anak-anak yang usia sekolah," tambahnya.
Sogi melanjutkan, warga termakan doktrin bahwa kiamat akan terjadi pertama kali di Desa Watubonang. Sementara tempat paling aman berada di daerah Malang.
"Mereka pun pindahnya malam hari, warga tidak ada yang tahu atau dipamiti," pungkas Sogi. (sun/bdh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini