Cerita Kawasan 'Kelenteng' Tanpa Kelenteng di Pacitan

Cerita Kawasan 'Kelenteng' Tanpa Kelenteng di Pacitan

Purwo Sumodiharjo - detikNews
Rabu, 06 Feb 2019 07:07 WIB
Foto: Purwo Sumodiharjo
Pacitan - Tak banyak peninggalan sejarah Tionghoa di Pacitan. Padahal, konon nenek moyang mereka sudah menetap di pesisir selatan Jawa sejak tahun 1800-an.

Salah satu warisan abadi adalah sebutan 'Kelenteng'. Itu merujuk sebuah tempat di Desa Arjowinangun, Kecamatan Kota. Persisnya di sudut antara Jalan Panglima Sudirman dan Rokan Kiri.

"Katanya dulu di situ memang ada bangunan kelenteng. Lokasinya persis di ujung perempatan," kata Hari Sunarno (63), seorang warga keturunan Tionghoa ditemui di rumahnya, Dusun Pager, Desa Arjowinangun, Rabu (5/2/2019).

Pensiunan polisi itu mengaku tak pernah melihat langsung kelenteng legendaris tersebut. Sebab, begitu menginjakkan kaki kembali di bumi Pacitan pada tahun 1962, tempat ibadah itu sudah tak ada.

Hanya saja, dia masih mampu mengingat jelas masa kanak-kanak saat dirinya menghabiskan waktu bermain di sekitar kompleks bekas kelenteng. Terlebih kakeknya merupakan seorang tokoh masyarakat.


"Jadi di belakang bekas bangunan kelenteng (sekarang Balai Desa Arjowinangun) dulunya adalah rumah Perkumpulan Tionghoa. Ketuanya adalah kakek saya. Nama beliau Tan Bian Ging atau Mbah Truno," ujarnya menerawang.

Dulunya bangunan yang sekaligus menjadi tempat pertemuan, juga digunakan menyimpan aneka benda untuk kebutuhan ritual dan budaya. Dua di antaranya liong dan barongsai. Bahkan kereta jenazah juga disimpan di bangunan tersebut.

Warga Tionghoa di Pacitan/Hari Sunarno/Foto: Purwoto Sumodiharjo

Keranda beroda yang ditarik manusia itu kerap digunakan membawa jenazah ke pemakaman di Lingkungan Tamperan, Kelurahan Sidoharjo. Jaraknya sekitar 3 kilometer.

"Waktu saya muda dulu pernah ikut menarik kereta (jenazah) itu menuju ke Bong Cino (pemakaman Tionghoa) di Tamperan itu," papar bapak dua anak tersebut.

Sebutan 'kelenteng' akrab di telinga sebagian besar warga Pacitan. Tak terkecuali Rahman Wijayanto (48), Kepala Desa Arjowinangun.

Menurutnya, predikat desa yang dipimpinnya sebagai bekas kampung pecinan merupakan aset sejarah. Dia berharap ke depan ada upaya promosi wisata melalui event tahunan semacam Imlek.


"Untuk mendatangkan orang dari luar daerah (untuk berwisata) memang harus ada daya tariknya. Oleh karena itu kita pingin mengangkat potensi wilayah dari sisi budaya," ujar pria yang baru setahun menjabat kepala desa.

Meski minim literatur, sebutan 'Kelenteng' seakan meneguhkan sejarah keberadaan Tionghoa di kawasan tersebut. Tak hanya di sekitar komplek kelenteng, persebaran mereka konon juga merambah hingga pemukiman sekitar.

Sejumlah nama berbau Tionghoa masih kental sebagai pemilik toko di deretan Jalan Jenderal Sudirman. Namun tak sedikit pula yang menggunakan nama bernuansa Jawa. Buah akulturasi budaya selama berabad-abad.

Pacitan sendiri memang tak mempunyai satu pun kelenteng di wilayahnya. Umat Tri Dharma di Pacitan yang ingin bersembahyang terpaksa harus melakukan ibadah di rumah sendiri. (fat/iwd)
Berita Terkait