Menurut kuasa hukum Syaiful Bachri, Edward Raimond kasus Smelting berawal dari perjanjian sewa perairan laut antara Pemkab Gresik dengan PT Smelting pada tahun 2006 silam.
Dalam perjanjian tersebut disepakati, PT Smelting wajib memberikan kontribusi kepada Pemkab Gresik dalam jangka waktu berlakunya izin ditetapkan 686.720 M2 X 10 Tahun X Rp 300/M2 = Rp 2.060.160.000, dan adanya biaya yang akan dikembalikan oleh Pemkab Gresik kepada PT Smelting untuk biaya perbaikan sarana dan prasarana selama masa sewa berlangsung dengan perhitungan 686.720 M2 X 10 Tahun X Rp 200/m2 = Rp 1.373.440.000
"Jumlah kontribusi atau uang sewa yang diserahkan untuk penyewaan pelabuhan sesuai dengan Perda No.9 Tahun 2002 tentang Tarif Jasa Kepelabuhan dan Surat Izin Bupati Gresik Nomor 1441 Tahun 2006 yang ditandatangani Bupati Gresik saat itu," kata Edward pada wartawan usai sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya di Juanda, Sidoarjo, Jumat (3/2/2017).
Edward pun mempertanyakan kasus yang didakwakan pada kliennya yang dianggap memperkaya diri sendiri yang dapat merugikan negara. "Kerugian negaranya dimana? Uang sewa atau kontribusi sesuai dengan Perda No.9 Tahun 2002 tentang Tarif Jasa Kepelabuhan dan Surat Iizin dari Bupati," tegas Edward.
Jika yang dipermasalahkan adanya dua versi perjanjian yang kemudian muncul selisih Rp 200/M2 dan dianggap merugikan Keuangan sebesar Rp 1.373.440.000 dan menjadi tanggung jawab kliennya. Edward dengan tegas menyatakan Perbuatan Kliennya jelas tidak mengakibatkan merugikan keuangan Negara.
Ia juga mengungkapkan seusai dengan peraturan yang berlaku, seharusnya yang menjadi rujukan adalah Perjanjian yang terbagi antara Rp 300 dan Rp 200.
"Itu sudah sesuai dengan Perda No.9 tahun 2002 tentang tarif jasa kepelabuhanan dan SK Bupati Gresik: SK 1441 Tahun 2006 tentang retribusi penyewaan pengairan karena sudah jelas peruntukannya" pungkas dia. (ze/bdh)











































