"Bayi watusi saat dilahirkan dalam keadaan lemah dan tidak dapat berdiri
tegak," ujar Pjs Direktur Utama PDTS KBS Aschta Boestani-Tajudin dalam siaran pers yang diterima detikcom, Kamis (10/3/2016).
Dalam keadaan normal, kata Aschta, bayi watusi hanya memerlukan beberapa jam untuk dapat berdiri tegak. Tidak mampunya bayi watusi ini berdiri tegak menyebabkan kesulitan untuk mendekat dan menyusu kepada induknya.
Padahal pada minggu pertama setelah kelahiran, penting untuk bayi satwa menyusu kepada induknya untuk mendapatkan colostrum. Tim Medis PDTS KBS kemudian, menyiasati dengan memberi susu formula tambahan setiap 2 jam sekali sebesar 144 cc.
"Tim Medis telah melakukan usaha maksimal dalam memberikan
Perawatan terhitung sejak tanggal 4 Maret 2016 dengan memberikan pemasangan perban kaki untuk membantu berdiri. Kemudian pada 5 Maret 2016 dengan memberikan sekat kandang untuk induk dan bayi agar dapat disatukan untuk menyusu. Tetapi bayi Watusi tetap mengalami kesulitan dalam menyusu kepada induk", imbuh Aschta.
Pada 6 Maret 2016, bayi Watusi mengalami panas tinggi dan harus dipaksa untuk minum susu formula serta telah mulai diinfus untuk menambah nutrisi dan cairan tubuh. Suhu tubuh semakin tinggi pada tanggal 8 Maret 2016 dan kondisi tubuh semakin melemah sampai dengan tanggal 9 Maret 2016.
"Kondisi yang malnutrisi karena tidak diterimanya colostrum, kondisi tubuh yang tidak mendukung dengan kesulitan berdiri tegak dan induk yang tidak menyapih dengan baik mengakibatkan minggu pertama yang sulit untuk beradapsi bagi bayi Watusi. Otopsi menunjukkan beberapa organ mengalami gangguan yang diduga akibat kondisi daya tubuh yang amat rendah akibat tidak menerima colostrum", ujarĀ Kepala Seksi Klinik, Karantina dan Nursery drh. Irmanu Ommy Noorindra.
Otopsi dilakukan pada tanggal 9 Maret 2016 dan sampel organ dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan lebih lanjut. (iwd/fat)











































