"Untuk BPHTB masih minim dari target kita sebesar Rp 100 miliar. Secara keseluruhan hasil pajak hingga September ini sebesar Rp 183,7 miliar. Sedangkan, target tahun ini sebesar Rp 260 miliar," kata Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Malang Ade Herawanto di BalaiKota Malang Jalan Tugu, Rabu (1/10/2014).
Dia mengaku, BPHTB tidak bisa dipaksakan perolehannya karena bersifat unik dan bersifat pasif. PAD dari BPHTB baru ada pemasukan jika ada transaksi jual beli tanah atau rumah. Kontribusi muncul ketika transaksi mengurus sertifikat ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kalau tidak melalui prosedur tersebut, peluang pemasukan daerah akan lenyap.
Pihaknya sendiri tidak mungkin menelusuri dan mencari siapa saja warga yang baru membeli tanah atau rumah. Karena pembeli tidak memiliki kewajiban melaporkan transaksi. Terlebih Dispenda memaksa masyarakat untuk membeli properti agar terkena pajak BPHTB. "Itu sangat tidak mungkin," akunya.
Target pajak BPHTB sebesar Rp100 miliar itu, lanjut Ade, diasumsikan pada tahun ini terjadi transaksi property senilai Rp 2 triliun. Kenyataannya, berdasar data dan laporan dari Bank Indonesia (BI) wilayah kerja Malang, serapan kredit properti dan transaksi tahun ini justru minus sekitar 14 persen dari tahun lalu.
"Ini mungkin disebabkan daya beli masyarakat tengah lesu akibat tahun politik. Untuk menutup ini, kami terus mengupayakan program jemput bola kepada wajib pajak (WP), notaris, maupun BPN, bahkan juga mensosialisasikan program-program untuk membangun kepercayaan publik terhadap layanan pajak di Kota Malang," terangnya.
Dia menambahkan, untuk sektor pajak lain seperti pajak hiburan, restoran dan hotel, parkir, reklame, kos-kosan maupun pajak penerangan jalan umum (PPJU) diklaim tidak terjadi masalah. Karena hampir semua sudah mencapai 70 persen lebih dan kekurangannya bisa digenjot pada tiga bulan teakhir sebelum pergantian tahun. "Hanya BPHTB kita harus mengoptimalkan," imbuh dia.
(fat/fat)