Agus Mahfud Fauzi, Konsultan Politik dan SDM Bangun Indonesia mengatakan, sekitar 50 persen mahasiswa Program Pendidikan Politik Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, yang mengikuti kegiatan Peningkatan kompetensi mahasiswa tentang 'Pelaksanaan pemilu di Indonesia, Tahapan, Problematika & Aspek Pengawasan', menyatakan tidak akan pulang kampung.
"Samplingnya di prodi Politik Islam. Tapi kalkulasinya berlaku untuk seluruh mahasiswa di Surabaya, karena polanya sama," kata Agus Mahfud, Selasa (1/4/2014).
Agus yang juga mantan komisioner KPU Jatim ini menerangkan, alasan mahasiswa dari luar kota Surabaya tidak pulang kampung, karena biayanya besar serta waktu liburnya pendek hanya sehari. Sekitar 30 persen mereka menyatakan pulang kampung dan 20 persen belum menentukan sikap.
"Mereka yang pulang kampung karena biayanya tidak terlalu besar. Mereka juga bisa langsung balik ke Surabaya setelah pencoblosan, sehingga tidak mengganggu perkuliahan mereka," ujarnya sambil menambahkan, bagaimanapun kondisinya, KPU Jatim harus bisa memfasilitasi mahasiswa yang tidak pulang kampung untuk bisa menggunakan hak pilihnya secara mudah.
Selain itu, sosialisasi coblosan 9 April di kalangan mahasiswa masih belum bisa diterima seluruhnya. Sekitar 10 persen mahasiswa yang tahu tata cara mencoblos. 30 Persen belum tahu dan 60 persen tidak mau menjawab, tetapi akhirnya mereka mengatakan belum tahu.
"Sebagian besar mahasiswa adalah pemilih pemula. Coblosan 9 April nanti adalah yang pertama kali bagi mereka. Kondisi ini merupakan tanggungjawab penyelenggara untuk mensosialisasikan sampai ke setiap person," terangnya.
Sementara tentang fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menghramkan Golput, sekitar 10 persen mahasiswa setuju. 30 persen tidak setuju terang-terangan dan 60 persen tidak setuju dengan diam.
"Hal ini menandakan bahwa mahasiswa menolak fatwa MUI untuk haram golput, meski ketika mereka menjadi relawan pengawas pemilu, setuju untuk mengajak pemilih untuk tidak golput," tandasnya.
(roi/fat)