Kawasan Ngupit di Desa Ngawen dan Kahuman, Kecamatan Ngawen, Klaten, Jawa Tengah memiliki sejarah panjang profesi juru sunat atau bong supit sejak masa kerajaan Mataram Islam. Khitan atau supit di kawasan ini menggunakan metode tradisional.
Kades Ngawen, Sofik Ujianto, menjelaskan sunat model di desanya, merupakan sunat tradisional. Tidak ada suntik karena biusnya menggunakan semprot.
"Jadi tradisional, karena hanya menggunakan obat luar, semprot dan telur untuk menghentikan pendarahan. Selalu dipantau pemerintah, sebulan sekali dulu koordinasi dengan RSDKR yang sekarang jadi Puskesmas," sebut Sofik pada detikcom, Sabtu (8/1/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Sofik, meskipun dunia kedokteran berkembang dengan teknik suntik tetapi supit di desanya selama bertahun-tahun tetap tradisional. Sehingga penggunaan obat juga tidak sembarangan.
"Pokoknya memasukkan obat tidak boleh, itu juga dibriefing di RSDKR seperti itu. Jadi obatnya ya disemprot karena tradisional turun-temurun," terang Sofik.
Bahkan, ucap Sofik, untuk mengatasi pendarahan hanya menggunakan telur mentah. Luka pada pasien akan diolesi dengan putih telur mentah.
"Telur dipecah, diambil putih telur diberikan ke luka yang pendarahan. Caranya seperti itu, saya pernah mempraktikkan dan betul pendarahan berhenti," papar Sofik.
Hingga seiring perkembangan zaman, imbuh Sofik, bong supit mulai diarahkan dan dibolehkan menggunakan antibiotik.
"Diberikan pengarahan oleh RSDKR tidak boleh memberi obat dalam yang lain selain antibiotik. Terus obat lain cuma tabur dan obat semprot," ungkap Sofik.
Sofik menambahkan dirinya sendiri pernah mempraktikkan teknik tradisional yang diajarkan bapaknya. Sejak mahasiswa dirinya sudah membuka praktik sebagai bong supit.
"Saya mulai menyunat sejak kuliah, saat bapak lelah saya yang menyunat. Sempat berhenti, tapi saat ini saya mulai merintis, mengumpulkan alat dan obat," sambung Sofik.
Sebab eksis turun-temurun, tambah Sofik, maka julukan daerah Ngupit lekat dengan bong Supit. Padahal daerah Ngupit sendiri tidak ada secara administratif.
"Ngupit itu sejak lama identik dengan bong Supit sebab banyak yang jadi juru supit. Padahal desa Ngupit itu tidak ada, Ngupit itu ya Desa Ngawen, Desa Kahuman dan sekitarnya," pungkas Sofik.
Slamet (40), seorang warga mengatakan dirinya disunat oleh bong Ngupit saat kelas 1 SMP menceritakan pengalamannya. Dia mengaku tak merasa sakit kala itu meski caranya masih tradisional.
"Sunatnya manual, yang saya rasakan tidak sakit karena diajak mengobrol. Setelah sebentar mengobrol, ternyata sunat sudah selesai, tidak terasa," ungkap Slamet pada detikcom.
Namun menurut Slamet bong supit Ngupit saat ini sudah meredup. Dulu ada beberapa bong terkenal, tapi sekarang hanya tinggal satu.
"Yang nyunat saya sudah tidak ada, meninggal dan tidak ada penerusnya. Anak saya kemarin sunat di Desa Mao (Kecamatan Jatinom)," imbuh Slamet.
Dwi Joko (36) yang juga merupakan alumni bong Ngupit lainnya mengatakan sunat di bong Ngupit sembuhnya cepat.
"Tiga atau empat hari sudah bisa saya gunakan main sepak bola. Tidak sakit dan tidak bengkak kayak yang lainnya, tapi itu dulu," tutur Dwi pada detikcom.
(sip/dil)