Jaksa Agung ST Burhanuddin tengah mengkaji penerapan hukuman mati untuk koruptor. Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti pun menyinggung Kejaksaan Agung yang menuntut jaksa Pinangki Sirna Malasari sangat ringan, yaitu 4 tahun penjara.
"Jangankan hukuman mati, bukankah Kejaksaan sendiri yang menuntut jaksanya sendiri yang melakukan tipikor, Pinangki, dengan tuntutan yang demikian rendah?" ujar Bivitri kepada wartawan, Jumat (29/10/2021).
Sebagai informasi, Pinangki dituntut 4 tahun penjara untuk kasus korupsi dan pencucian uang. Di mana kedua kasus itu terkait buronan korupsi Rp 500 miliar lebih, Djoko Tjandra. Karena itu, wacana ST Burhanuddin dinilai aneh dan janggal. Sebab, di sisi lain, Kejaksaan belum mengusut lebih jauh siapa saja di balik Pinangki.
"Lebih baik semua aparat penegak hukum berfokus pada penegakan hukum acaranya supaya semua koruptor bisa ditangani dengan maksimal, mempelajari soal pola penghukuman dan efek jera, serta pengawasan eksekusi hukuman," ujar Bivitri.
Bivitri menilai kajian tuntutan hukuman mati ke koruptor sebagai sebuah wacana yang tidak konsisten. Mengingat Pinangki hanya dituntut 4 tahun penjara.
"Jika penegak hukum peduli pada isu korupsi maka hal yang difokuskan yakni penegakan hukum acara agar semua koruptor bisa ditangani dengan maksimal," papar Bivitri.
Ia juga menilai penerapan hukuman mati lebih kepada pembalasan dan tidak mengarah pada efek jera agar tindak pidana serupa tidak berulang. Selain itu hukuman mati juga memiliki esensi melanggar hak asasi manusia (HAM).
"Kasus korupsi lebih mengarah pada pemulihan aset dan adanya efek jera agar kasus serupa tidak terus terulang," pungkas Bivitri, yang juga pengacara hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera.
Diberitakan sebelumnya, Jaksa Agung akan mengkaji penerapan hukuman mati bagi para koruptor. Pengkajian ini berasal dari skandal kasus-kasus megakorupsi.
Kasus megakorupsi yang disorot Jaksa Agung yaitu PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) dan kasus Jiwasraya. Di mana dalam kasus ini kerugian keuangan negara nilainya fantastis mencapai triliunan rupiah. Pengkajian penerapan hukuman mati ini dilakukan untuk memberikan rasa keadilan dalam penuntutan. Namun, dalam penerapannya disebut perlu memperhatikan nilai HAM dan hukum positif yang berlaku.
"Bapak Jaksa Agung sedang mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati guna memberikan rasa keadilan dalam penuntutan perkara dimaksud, tentunya penerapannya harus tetap memperhatikan Hukum Positif yang berlaku serta nilai-nilai hak asasi manusia," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangan pers tertulis, Kamis (28/10/2021).
(asp/mae)