Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin sudah berjalan dua tahun. Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) memberikan beberapa catatan.
Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman menilai selama 2 tahun ini Jokowi tidak punya perhatian untuk memberantas korupsi. Bahkan menurutnya, hal ini berlangsung sejak periode pertama atau selama 7 tahun ini Jokowi menjabat presiden.
"Presiden menurut saya tidak punya perhatian dalam pemberantasan korupsi, berbeda misalnya dengan semangat Presiden dalam pembangunan infrastruktur," kata Zaenur saat dihubungi wartawan, Rabu (20/10/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Zaenur mengungkap berkaca dari skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2020 mengalami penurunan. Penurunan ini disebutnya terjadi terjadi secara drastis.
"Salah satu ukuran paling fair untuk menilai situasi korupsi adalah melalui indeks persepsi korupsi, terakhir 2020 itu justru turun drastis. 2019 pada 40 turun 3 poin menjadi 37. Ini penurunan yang sangat drastis dan angka 37 dari skala 100 itu menunjukkan Indonesia lekat dengan korupsi," jelasnya.
Kombinasi revisi UU KPK dan pemilihan pimpinan KPK melalui Pansel bentukan Presiden dinilainya semakin menambah citra buruk KPK. Hasilnya, lanjut Zaenur, angka operasi tangkap tangan (OTT) turun dan paling baru dipecatnya 57 orang dari KPK pada 2021 ini.
"KPK semakin digembosi kemudian kinerja KPK sangat buruk, angka OTT turun drastis, KPK semakin tidak disegani oleh para pejabat dan KPK justru banyak dirundung oleh permasalahan internal seperti alih status kepegawaian, dan TWK yang berujung pemecatan 57 orang. Ini kerugian besar," katanya.
Zaenur melihat selama 7 tahun ini, Jokwi tidak menunjukkan komitmen dalam hal pemberantasan korupsi. RUU yang bisa mendukung pemberantasan korupsi urung dibahas. Seperti RUU Pemberantasan Aset, RUU Tindak Pidana Korupsi, dan RUU Pembatasan Transaksi Tunai.
"Selama 2 tahun ini, bahkan 7 tahun ini pemerintah di bawah Jokowi sampai saat ini RUU Perampasan Aset juga belum dibahas antara pemerintah dan DPR dan tidak masuk dalam Prolegnas. Padahal RUU ini bisa menjadi game changer dalam pemberantasan korupsi agar bisa efektif," ucapnya.
"Dibandingkan dengan UU Ciptaker itu bisa dibahas cepat, tapi untuk UU soal pemberantasan korupsi tidak," sebutnya.
Lebih lanjut, Zaenur juga menilai Jokowi tidak pernah melakukan reformasi aparat penegak hukum. Khususnya Kejaksaan dan Kepolisian.
"Tidak adanya satu upaya reformasi institusi di aparat penegak hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan. Selama 2 tahun ini tidak ada reformasi di 2 institusi itu Bahkan di 2 institusi ini masih ada perilaku menyimpang," ujarnya.
Termasuk, kata Zaenur, lambatnya reformasi birokrasi sehingga hasilnya masih ada praktik pungli.
"Sampai saat ini praktik pungli oleh birokrasi masih ada, artinya tidak ada program pemerintah yang signifikan dalam upaya reformasi birokrasi," bebernya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya...
Kondisi ini disebut Zaenur semakin diperparah dengan dipersempitnya ruang kebebasan publik. Imbasnya, masyarakat yang bisa menjadi pengawas pemerintah jadi takut bersuara. Apalagi dengan mudahnya UU ITE menjerat seseorang dan adanya tindakan represif aparat.
Zaenur pun meminta Presiden agar dalam sisa waktu 3 tahun pemerintahan ini bisa dimanfaatkan untuk serius memberantas korupsi.
"Saya melihat bahwa tidak ada perhatian presiden dalam pemberantasan korupsi. Sisa waktu yang tinggal 3 tahun ini seharusnya dapat dimanfaatkan presiden untuk meninggalkan legacy dalam pemberantasan korupsi," ucapnya.
"Tapi tanpa ada komitmen Presiden Indonesia susah keluar dari korupsi, selama Indonesia masih korup hasil pembangunan hanya akan dinikmati elite yang korup," pungkasnya.