Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), dr Bayu Satria Wiratama, menyoroti munculnya klaster sekolah saat pembelajaran tatap muka (PTM) yang muncul di sejumlah daerah. Menurutnya, PTM atau sekolah tatap muka seharusnya dilakukan secara bartahap dan dimulai dari jenjang tertinggi yakni SMA.
"Kita bisa lihat ternyata paling banyak (klaster) SD, dan menurun di SMA. Itu menunjukkan sebenarnya dari awal itu PTM harusnya buka bertahap dan sebaiknya dari yang paling tinggi levelnya. Dari SMA, kemudian SMP," kata Bayu saat dihubungi wartawan, Kamis (23/9/2021).
Dosen FKKMK UGM itu menjelaskan, PTM pada jenjang SD harusnya dilakukan paling akhir. Sebab, menurutnya siswa SD sulit untuk menerapkan 5M.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Siswa SD kan paling susah untuk disuruh pakai masker, jaga jarak. Kemudian jumlah guru dan muridnya lebih sedikit dibanding SMP atau SMA sehingga pengawasannya akan sulit," jelasnya.
Bayu juga menyoroti soal vaksinasi. Sebab, hingga saat ini anak di bawah usia 12 tahun yang merupakan usia anak pada jenjang SD belum menerima vaksin Corona.
"Jadi vaksin kan baru 12 tahun ke atas. Saya kaget juga SD kok sudah dibuka karena setahu saya memang dari SMP-SMA yang sudah divaksin," kata Bayu.
Selain belum menerima vaksin, siswa SD juga paling berisiko tertular COVID-19. Karena, kata Bayu, ketaatan menerapkan protokol kesehatan masih kurang.
"Ini juga artinya harus ada evaluasi lebih awal. Karena buka sekolah itu tidak bisa sembarangan. Selama ini sekolah lebih siap pada pembelajaran bukan pada sistem kesehatan," sebutnya.
Bayu berkata, pemerintah daerah terutama dinas kesehatan perlu melakukan tracing terhadap kasus klaster sekolah saat PTM secara menyeluruh. "Jadi anak itu tertular dari dalam sekolah atau luar sekolah. Itu yang belum diketahui, kalau tidak segera di-tracing bisa menyebar ke mana-mana," jelasnya.
Simak juga video 'Dua SD di Tasik Hentikan Belajar Tatap Muka Gegara Guru Positif Corona':
Simak selengkapnya di halaman berikutnya...
Bayu pun menyarankan dengan adanya kasus ini, pemerintah bisa mengevaluasi ulang kebijakan terkait PTM. Selanjutnya, setiap klaster yang muncul di-tracing sehingga bisa mengetahui sumber penularannya.
"Kalau bilang tepat ya belum (saatnya PTM), tapi kita tidak bisa terus menunggu. Harusnya bertahap, nggak semua sekolah dibuka. Kan risikonya di situ (muncul klaster), dan yang mengawasi tidak ada," katanya.
"Yang sudah terlanjur terjadi klaster diselidiki dan itu penularannya dari mana. Jadi kalau yang mau PTM ya harus ada pengawasan cukup ketat dan tracing yang bagus sehingga ada klaster PTM ini bisa tahu sumbernya dari mana, dari sekolah atau luar sekolah," pungkas Bayu.