Struktur batu di atas bukit Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), diduga merupakan bagian dari stupa Buddha. Diduga bangunan stupa itu dibangun pada 8-9 Masehi.
Salah seorang warga setempat, Prawoto, mengatakan lokasi situs itu berada di Bukit Mintorogo, Kalurahan Gayamharjo, Kapanewon Prambanan. Awalnya warga tidak tahu jika batuan itu merupakan bagian dari stupa. Warga, kata dia, menganggap lokasi itu sebagai tempat sakral untuk melakukan pertapaan.
"Sebetulnya sudah lama (ada), cuma kalau kepercayaan kami ini kan tempat yang kami sakralkan, penduduk sini menganggap itu adalah pertapaan," kata Prawoto saat ditemui wartawan, Kamis (2/9/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Situs bersejarah itu kini sudah tak berbentuk sama sekali. Prawoto menuturkan, berdasarkan hasil pemeriksaan dari pihak-pihak terkait, dulunya lokasi itu terdapat bangunan berupa stupa.
"Kemungkinan besar candi (stupa, red), kalau lebih detailnya teman arkeologi. Kalau saya tahunya di sini ada stupa lah," ungkapnya.
Menurutnya, situs ini merupakan situs peninggalan Buddha. Dan baru diketahui oleh warga belum lama ini.
"Kalau diketahui candi (stupa, red) baru-baru saja. Karena dulu kita hanya curiga kok ada batu aneh. Setelah ada teman-teman yang ke sini menyatakan ini candi dan candi Buddha," ungkapnya.
Sementara itu, pegiat cagar budaya Hari Wahyudi mengatakan bangunan ini sudah dibangun sekitar abad 8 Masehi.
"Ini kalau dari bentuknya hampir sama dengan dataran Prambanan semua. Dari abad 8-10 M secara keilmuan ini. Jadi bentuknya stupa tunggal," kata Hari.
Kondisi situs sudah banyak yang hancur. Hanya bagian bawah yang masih terlihat.
"Kondisinya saat ini hampir susah dikenali. Jadi kemungkinan dulu ini runtuh, terus sebagian materialnya itu digunakan warga sebagai pembatas talut," ungkapnya.
Berdasarkan diameter bangunan bawah candi sebesar 7 meter, Hari mengatakan stupa ini tingginya sekitar 7 meter.
Selain itu, lokasi penemuan situs bersejarah ini disebut sebagai yang tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
"Kemarin diukur itu 414 mdpl. Sementara ini tertinggi situs candi Mataram Kuno tertinggi di Yogyakarta," sebutnya.
Lokasi bangunan, kata Hari, juga punya makna tersendiri.
"Sangat berpengaruh. Biasanya kan itu tadi, semacam legitimasi juga," pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta Zaimul Azzah saat dikonfirmasi terkait batuan itu menyebut jika dugaan awal yakni stupa.
"Itu beberapa waktu lalu sudah ditinjau, diduga memang sebuah stupa. Dugaan awal itu stupa," kata Azza ssat dihubungi wartawan hari ini.
Akan tetapi, pihak BPCB Yogyakarta masih melakukan penelitian lebih lanjut.
"Kelihatannya masih ada komponen stupa tapi perlu penelitian lebih lanjut," jelasnya.
Ia juga membeberkan, stupa itu dibangun antara tahun 8 hingga 9 Masehi. Hal itu didasari oleh sebaran bangunan benda cagar budaya di Prambanan.
"Kalau perkiraan tahun, kita melihat sebaran di Prambanan banyak bangunan yang senada. Diperkirakan tahun 8 M atau 9 M," ungkapnya.
Dikatakan Azza, di dekat lokasi batuan stupa itu banyak tersebar stupa-stupa lain.
"Di sekitar sana kan memang banyak stupa, misalnya stupa Sumberwatu dan banyak stupa yang sedang kita lakukan rekonstruksi," pungkasnya.
Simak cerita turun-temurun warga di halaman berikutnya...
Cerita turun-temurun masyarakat soal batuan stupa
Salah seorang warga setempat, Prawoto, menceritakan ada kisah yang diwariskan turun temurun terkait batuan stupa itu. Konon, dulunya lokasi itu menjadi tempat bertapa Begawan Ciptaning.
"Kalau legendanya dulu menurut cerita nenek moyang itu di sini adalah tempat pertapa Begawan Ciptaning yang pada waktu itu beliau menginginkan wahyu ketentreman atau mungkin wahyu sejatilah," kata Prawoto.
Sejak kisah itu tersebar, lokasi tersebut banyak didatangi masyarakat untuk melakukan pertapaan.
"Banyak dari luar daerah kebanyakan di malam Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon. Kebanyakan mereka ingin hidup tentram, dan juga kadang mereka ingin derajat pangkat," ungkapnya.
Prawoto juga mengungkapkan, saat ada yang bertapa, daerah sekitar batuan stupa itu tidak turun hujan.
"Kalau di sini kisahnya ketika ada yang bertapa lama 30-40 hari mesti yang di bawah sana nggak dapat hujan walaupun musim hujan. Biasanya mereka bertapa di pergantian musim kemarau ke musim penghujan," katanya.
Selain itu, kata Prawoto, mereka yang bertapa juga sering ditemui oleh makhluk-makhluk gaib. Termasuk warga sekitar disebutnya sering melihat sosok harimau putih.
"Kalau dari kami, juga dari teman-teman, sering sih ada orang tua pakai putih-putih dan harimau putih," pungkasnya.