Kemidi menuturkan pendapatan para penderes nira tidak menentu. Jika dirata-rata per bulannya sekitar Rp 1,5 juta.
Nominal tersebut bisa diperoleh apabila cuaca sedang baik, artinya tidak musim hujan maupun kemarau panjang. Sebab jika cuaca sedang baik, sadapan nira yang para penderes dapat akan lebih melimpah sehingga bisa memproduksi banyak gula jawa.
Kendati begitu penghasilan tersebut masih jauh dari kata layak. Pasalnya mayoritas penderes merupakan tulang punggung keluarga. Dengan nominal segitu, sangat sulit mencukupi kehidupan sehari-hari, terlebih bagi penderes yang mempunyai anak usia sekolah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nominal itu juga tak sebanding dengan tingginya risiko pekerjaan ini. Kemidi mengungkapkan sudah banyak penderes yang cacat bahkan meninggal saat menjalankan aktivitas menyadap nira.
![]() |
Baca juga: Teten Ungkap 500 Ribu-an UMKM Gulung Tikar |
"Risikonya tinggi banget, sudah nggak terhitung berapa warga kami yang akhirnya meninggal karena jatuh saat menderes nira, bagi yang selamat kebanyakan jadi cacat," ungkapnya.
"Di sisi lain, para penderes ini tidak tercover program asuransi kerja, sehingga kalau sudah meninggal atau cacat ya sudah nggak bisa apa-apa," imbuh Kemidi.
Sementara itu, salah satu penderes nira asal Plampang III, Parjan (51), mengungkapkan pekerjaan menderes nira memiliki risiko yang tinggi. Sayangnya hasil yang diperoleh tak sebanding dengan risikonya.
"Setiap hari saya harus manjat setidaknya 20 pohon kelapa, dari situ saya bisa produksi paling 3 kilogram gula jawa, yang kalau dijual per harinya paling banyak Rp 50 ribu, jadi sebulan saya dapat sekitar Rp 1,5 juta, itu nanti sudah habis buat biaya anak sekolah, sama makan sehari-hari," ucap pria yang sudah lebih dari 30 tahun jadi penderes nira itu.
(rih/rih)