Komisi Informasi Provinsi (KIP) Jawa Tengah membentuk majelis etik terkait adanya oknum anggota KIP Jateng sekaligus mantan pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilaporkan melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Oknum itu disebut sudah mengakui perbuatannya.
Ketua KIP Jateng, Sosiawan, mengatakan oknum atau terlapor berinisial SH itu sudah dimintai klarifikasi. Ia menyebut ada beberapa hal yang dibantah soal tindakan kekerasan yang dilakukan kepada istrinya.
"Terlapor mengakui perbuatannya yang mengakibatkan istrinya pendarahan. Terkait diksi dia menampar atau memukul, ada yang memang dibantah, tapi dia mengakui soal KDRT-nya," kata Sosiawan kepada wartawan di kantornya, Jumat (16/4/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan setelah menerima laporan KDRT dari Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jateng pada 8 April 2021 lalu, pihaknya kemudian melakukan rapat pleno komisioner pada hari Senin (12/4) lalu. Saat itu SH diberi kesempatan melakukan klarifikasi.
"Rapat pleno akhirnya memutuskan untuk menerima laporan JPPA dan menindaklanjuti dengan pembentukan majelis etik yang diawali dengan menetapkan nama-nama yang dipilih dan dikonfirmasi kesediaannya menjadi majelis etik," jelasnya.
Nama-nama yang duduk di majelis etik tersebut yaitu Sri Suhandjati Sukri selaku akademisi dari UIN Walisongo, Emang Sulaiman selaku tokoh masyarakat dari MUI Jateng, dan Gede Narayana selaku Ketua Komisi Informasi Pusat.
"Majelis etik bersifat mandiri, bebas dan adil. Tidak ada yang bisa mempengaruhi rekomendasi dari majelis etik," ujarnya.
Penetapan nama majelis etik dilakukan hari Kamis (15/4) kemarin dan sidang pertama dilakukan selambat-lambatnya 5 hari kerja. Sidang harus diselesaikan selambatnya 20 hari kerja setelah sidang pertama dimulai.
"Dalam hal terbukti terjadinya pelanggaran kode etik, majelis akan memberikan rekomendasi sanksi ringan, sedang, dan berat. Dalam hal anggota KIP dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian tetap, Ketua komisi mengusulkan kepada Gubernur," ujarnya.
Sementara itu koordinator JPPA Jateng, Nihayatul Mukaromah, meminta transparansi dalam penanganan kasus tersebut. Ia masih menganggap yang disebutkan oleh Ketua KIP Jateng hari ini masih langkah normatif.
"Memang kalau kita lihat tadi jawabannya komisioner atau ketua semua normatif sesuai aturan," ujar Nihayatul.
"Kami minta ada keterbukaan dalam persidangan yang hasilnya rekomendasi ke Gubernur (Jateng)," imbuhnya.
Terkait kondisi korban, Nihayatul mengatakan psikologis masih labil karena KDRT tersebut tidak hanya terjadi akhir Maret lalu, namun sudah terjadi selama sekitar 10 tahun.
"Kondisi kalau secara psikologis masih labil. Sampai saat ini juga belum siap bertemu di-publish maka meminta perwakilan dari JPPA," ujarnya.
Pihaknya juga sudah mencoba melakukan pengaduan ke kepolisian terkait KDRT tersebut tanggal 29 maret 2021. "Kemarin sifatnya pengaduan ke kepolisian," imbuhnya.
Selengkapnya di halaman selanjutnya...
Diberitakan sebelumnya, seorang mantan pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) yang kini duduk sebagai pejabat publik di Komisi Informasi Provinsi (KIP) Jawa Tengah disebut melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap istrinya. Pria berinisial S itu disebut sudah melakukan aksinya dalam kurun waktu 10 tahun.
Sang istri atau korban kini didampingi jaringan peduli perempuan dan anak (JPPA) Jawa Tengah. Koordinator JPPA Jateng, Nihayatul Mukharomah mengatakan KDRT itu sudah terjadi sejak tahun 2010. Terakhir dilakukan akhir Maret 2021.
"Puncaknya adalah di bulan Maret 2021, pelaku melakukan kekerasan lagi. Pelaku menampar pipi kanan korban berkali-kali, memukul kepala korban dengan botol air minum ukuran 800 ml hingga botol tersebut terlempar, mendorong-dorong tubuh korban dan memukul hidung korban sebanyak dua kali hingga mengeluarkan darah yang sangat banyak hingga berceceran di wajah, baju, celana korban, di sofa dan lantai," kata Nihayatul dalam siaran persnya, Jumat (9/4).
"Kejadian tersebut dilakukan di depan kedua anaknya yang masih kecil," imbuhnya.
Ia menegaskan perbuatan S mencoreng institusi negara karena sebagai pejabat publik haruslah memiliki integritas dan moral yang tinggi. Selain itu perbuatan S juga dianggap merendahkan dan melecehkan perempuan.
"Terlebih lagi pelaku adalah orang yang notabene paham hukum dan keberadaannya di Komisi Informasi karena didukung oleh kawan-kawan organisasi gerakan yang memperjuangkan penegakan HAM dan demokrasi. Namun yang ditunjukkan oleh pelaku adalah sebaliknya malah menjadi pelaku pelanggaran HAM itu sendiri. Jauh dari teladan dan contoh yang baik bagi masyarakat, bahkan sangat merendahkan dan melecehkan perempuan," tegasnya.