RS Swasta di Semarang Dipolisikan Terkait Dugaan Malpraktik

RS Swasta di Semarang Dipolisikan Terkait Dugaan Malpraktik

Angling Adhitya Purbaya - detikNews
Rabu, 27 Jan 2021 20:24 WIB
Erni Marsaulina (50) dan Raplan Sianturi (59) menunjukkan surat aduan ke Polda Jateng dan foto putra mereka yang meninggal di ruang isolasi, Rabu (27/1/2021).
Erni (50) dan Raplan (59) menunjukkan surat aduan ke Polda Jateng dan foto putra mereka yang meninggal di ruang isolasi, Rabu (27/1/2021). Foto: Angling Adhitya Purbaya/detikcom
Semarang -

Sebuah rumah sakit (RS) swasta di Kota Semarang dipolisikan ke Polda Jawa Tengah karena dianggap ada dugaan malpraktik hingga menyebabkan pasien meninggal. Ibu pasien juga diminta tanda tangan untuk penanganan pasien COVID-19.

Erni Marsaulina (50), ibu dari pasien bernama Samuel Reven (26), tidak bisa menahan tangis saat menceritakan anak pertamanya itu meninggal tanpa dihadiri keluarga di ruang isolasi COVID-19 meski dua hasil tes swab dinyatakan negatif.

Ia kehilangan putra pertamanya itu tanggal 3 November 2020 saat sedang menikmati liburan di Semarang usai dari Magelang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Awalnya, pada tanggal 28 Oktober Samuel disebut mengeluhkan sakit mag.

"Saya bukan orang Semarang, saya melihat gedung rumah sakit itu megah, bintang lima, maka saya bawa ke IGD RS Telogorejo," kata Erni ditemui di Gama Resto, Semarang, Rabu (27/1/2021).

ADVERTISEMENT

Saat itu Samuel sudah membaik dan langsung pulang. Namun keesokan harinya ia kembali drop dan kembali ke rumah sakit yang sama. Saat itu mereka bertemu dokter dan diminta agar ke HCU. Pasien kemudian dibawa ke IGD dan menurut Erni saat itu anaknya tidak kunjung dipindah karena tidak mendapatkan kamar.

"Saya ke pendaftaran dan bilang kalau tidak ada kamar saya mau pindah saja," ujar warga Pasar Rebo, Jakarta Timur, itu.

Namun ia dibujuk agar tidak pindah. Saat itu pula ada kabar anaknya reaktif saat rapid test tapi juga dijelaskan reaktif tersebut tidak selalu positif Corona, namun bisa karena infeksi yang diderita. Kemudian ia ditawari sebuah form agar diisi sehingga cepat dapat kamar dan biaya ditanggung Kemenkes.

"Petugas bilang 'nanti Ibu pakai kartu keluarga ke saya'. Hah, buat apa? 'Biar biaya ditanggung Kemenkes'. Saya kasihan anak saya, saya tanda tangan. Langsung dapat kamar," ujarnya.

Namun kamar itu adalah kamar isolasi COVID-19 sehingga sejak saat itu keluarga tidak bisa melihat Samuel. Pihak keluarga terus menanyakan kondisi pasien lewat pihak rumah sakit. Swab pertama menunjukkan hasil negatif, namun pasien belum boleh keluar karena menunggu swab kedua.

"Sudah tidak bisa lihat, tidak bisa tahu bagaimana kondisinya," tandasnya.

Tanggal 2 November 2020 sekitar pukul 22.30 WIB, Erni sempat menelepon Samuel. Saat itu Samuel mengeluhkan soal pelayanan perawat dan juga meminta ibunya membawakan susu dan air mineral.

"Tidak lama saya ditelepon susternya, 'anaknya kritis'," katanya.

Ia sekeluarga langsung bergegas ke rumah sakit. Namun tetap saja keluarga tidak bisa melihat kondisi Samuel karena perawat mengatakan saat itu sedang ditangani dan memang berada di ruang isolasi.

Erni sempat berusaha menelepon dokter yang menangani tapi dokter itu tidak datang dengan alasan ada dokter jaga. Tidak lama kemudian dokter jaga keluar dari kamar Samuel dan mengatakan Samuel sudah meninggal.

"Dokter jaga kemudian keluar bilang anak saya meninggal. Baru setelah itu boleh masuk, tidak pakai APD. Jam 00.10 WIB (3 November) anak saya dinyatakan meninggal," katanya dengan berurai air mata.

Simak selengkapnya di halaman selanjutnya...

Ia menjelaskan perasaan sedih, kecewa, bingung bercampur aduk. Ia heran ketika anaknya kritis tidak diperbolehkan masuk, padahal ia sudah menyanggupi jika harus pakai APD. Tapi ketika anaknya sudah meninggal justru diperbolehkan masuk bahkan tanpa APD.

"Saat anak saya kritis saya tidak boleh masuk. Tidak tahu bagaimana kondisinya, tidak ada yang menemani. Setelah meninggal baru masuk, bahkan tanpa APD," katanya.

"Hasil swab kedua diketahui negatif saat anak saya kritis," lanjutnya.

Erni mengaku makin sedih melihat kondisi anaknya yang ternyata tidak cukup dengan kasur di ruangan itu sehingga kaki kiri menggantung sebagian dan kaki kanan tertekuk. Bahkan hingga pemakaman kondisinya masih seperti itu.

"Anak meninggal di dalam ruangan tempat tidur tidak layak. Menggantung kakinya sebelah kiri, yang kanan tertekuk. Sampai pemakaman seperti itu," ujarnya.

Pihak keluarga langsung membawa jenazah ke pemakaman di Jakarta. Dua minggu kemudian mereka menanyakan soal anaknya itu ke rumah sakit karena hanya ada keterangan penyebab kematian akibat penyakit tidak menular.

"Surat keterangan penyakit tidak menular. Apa penyakitnya?" tegas Erni.

"Di sana juga dia sempat disuntik insulin," katanya.

Pihak keluarga sudah bertemu dengan pihak rumah sakit dua kali dan tidak membuahkan hasil. Jalur damai yang ditawarkan rumah sakit pun tidak ada tindak lanjut. Bahkan resume dari rumah sakit sempat berubah karena resume pertama menurut Erni tidak sesuai kenyataan.

"Contohnya resume pertama anak saya suhu 39 derajat saat datang, saya sanggah. Cek IGD. Resume kedua 36 derajat," tegasnya.

"Lihatnya terputus komunikasi antara dokter yang menangani dan perawat yang menangani, seolah mereka main-main," imbuh ayah Samuel, Raplan Sianturi (59), di tempat yang sama.

Selanjutnya, penjelasan kuasa hukum keluarga pasien dan pihak RS...

Sementara itu kuasa hukum keluarga pasien, Artha Uli, mengatakan dari dua kali pertemuan dengan rumah sakit, ditawarkan diselesaikan kekeluargaan namun belum tahu apa wujudnya. Keluarga sebenarnya minta kejelasan soal apa yang sebenarnya dialami pasien.

"Damai seperti apa? Tidak pernah diberi tahu. Akhirnya buat somasi dengan dugaan malpraktik. Dijawab dengan tetap diselesaikan secara damai. Kami melakukan pengaduan ke Polda Jawa Tengah dan diarahkan ke Ditkrimsus," kata Artha pada kesempatan yang sama.

Aduan tercatat dengan nomor register STPA/46/I/2021/Reskrimsus tertanggal 25 Januari 2021. Pihak keluarga masih terbuka jika pihak rumah sakit kembali ingin bertemu. Keluarga juga menegaskan ingin kejelasan soal anaknya dan berharap kejadian yang menimpa putranya tidak terulang.

"Semoga ini tidak sampai terulang ke orang lain," katanya.

Terpisah, Direktur Pemasaran SMC RS Telogorejo yang juga membawahi humas, dr Gracia Rutyana H, mengatakan perawatan dan tindakan medis sudah dilakukan sesuai standar yang baik.

"Seluruh kronologi proses dan tindakan medis telah kami jelaskan dengan proporsional dan benar dan sesuai standar organisasi profesi kepada pihak keluarga. Selanjutnya kami tetap bersedia melakukan mediasi dengan pihak keluarga serta organisasi profesi atau instansi terkait," kata Gracia saat ditemui.

Halaman 4 dari 3
(rih/mbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads