Kasus seorang warga Kabupaten Banyumas, Hanta Novianto, yang dimakamkan menggunakan protokol COVID-19 oleh Rumah Sakit (RS) Dadi Keluarga Purwokerto memasuki sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Pihak RS digugat senilai Rp 5 miliar ke pengadilan oleh pihak keluarga setelah mengetahui Hanta negatif virus Corona.
Dalam sidang gugatan tersebut dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Vilia Sari dan Hakim Anggota Rahma Sari Nilam Panggabean serta Arief Yudiarto. Selain itu dihadiri oleh pihak penggugat dan tergugat serta para kuasa hukumnya.
Dari tiga pihak yang digugat, hanya dua pihak yang hadir, yakni Rumah Sakit Dadi Keluarga dan Dinas Penanaman Modal Kabupaten Banyumas. Sedangkan pihak Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) dari Jakarta tidak hadir. Hakim sempat membuka sidang dan memeriksa sejumlah berkas sebelum akhirnya menunda sidang pada 10 Februari 2021.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hadir kembali pada persidangan tersebut hari Rabu tanggal 10 Februari 2021, sambil menunggu KARS dari Jakarta," kata Hakim Vilia dalam sidang di PN Purwokerto, Rabu (20/1/2021).
Sementara itu istri Hanta, Ayong Karsiwen, menceritakan kejadian tersebut berawal saat suaminya masuk ke Rumah Sakit Dadi Keluarga Purwokerto pada tanggal 26 April 2020 dan dirawat sekitar dua hari tiga malam karena sakit paru-paru. Dia dan anak pertamanya, Andri Handoyo, bergantian menjaga Hanta di rumah sakit.
"Sebelum masuk rumah sakit, dia (suami) lagi berobat di BP4 rumah sakit paru-paru, di sana bapak divonis TBC. Lagi kontrol jalan, Senin besok (27 April 2020) kontrol, hari Minggunya (26 April 2020) jatuh, terus saya bawa ke rumah sakit," kata Ayong saat di temui di PN Purwokerto.
![]() |
Dia mengatakan bahwa kondisi Hanta saat itu tidak sadar, tapi bisa memberikan respons melalui matanya dengan digerak-gerakan. Selama berada di rumah sakit tersebut, dia mengatakan bahwa suaminya tidak menjalani tes rapid maupun pengecekan. Namun, lanjut Ayong, setelah meninggal, suaminya divonis positif virus Corona oleh dokter.
"Tanggal 28 dikasih dua pilihan sama dokter paru sama dokter syaraf, kita mau bertahan di rumah sakit tapi tidak boleh ke mana-mana, atau mau pulang tapi mandi dulu, kebetulan waktu itu Corona sedang meledak-meledaknya. Karena ini ruangan sudah disterilkan semua dan pasien disuruh pergi semua tinggal suami saya. Kalau saya di sini gimana dan kalau saya pulang gimana, saya balik nanya, terus saya disuruh tanda tangan dulu kalau bapak positif. Makanya saya pilih pulang, karena bapak mau dipindahkan ke Margono katanya," jelas Ayong.
Setelah dirinya pulang, jeda sekitar dua jam kemudian, dirinya mendapat kabar dari rumah sakit jika suaminya telah meninggal dan akan dimakamkan menggunakan prosedur pemakaman sesuai protokol COVID-19.
"Setelah pulang, di rumah sekitar dua jam dikabarin meninggal, bisa dibawa pulang dengan protokol kesehatan," jelasnya.
Setelah penguburan, lanjut dia, empat hari kemudian Ayong dan anaknya Andri di-rapid oleh Puskesmas setempat, setelah Satgas COVID-19 mengetahui jika ada anggota keluarganya yang meninggal. Hasilnya, keduanya dinyatakan negatif. Namun, surat keterangan negatif COVID-19 sang suami dari rumah sakit baru keluar dengan jeda waktu sekitar 6-7 bulan kemudian.
"Dahulu itu efek saat di-COVID-kan, dikucilkan sama lingkungan. Kalau cerita sedih, dikucilkan dan diusir secara halus oleh tetangga sekitar, tarub (rumah duka) aja suruh dicopot. Kalau boleh pilih saya pilih ikut bapak. Sekarang saya kadang ke rumah anak, karena di rumah dahulu hanya saya sama bapak," ucapnya.
Selanjutnya, penjelasan kuasa hukum penggugat dan pihak RS...