Tudingan rumah sakit mengambil untung dengan cara meng-COVID-kan pasien salah satunya muncul dari Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) hingga pemerintah daerah menjawab tudingan itu.
Menyakitkan buat nakes
IDI Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menilai tudingan tersebut menyakitkan bagi para tenaga kesehatan (nakes). Sebab mereka sudah bekerja keras dan menjadi garda terdepan menangani COVID-19.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau tuduhan itu (dokter sembarang mendiagnosis pasien positif COVID-19) betul, itu menyakitkan," ucap Ketua IDI DIY, dr Joko Murdiyanto, saat dihubungi detikcom, Senin (5/10/2020).
"Kami sudah mati-matian, seluruh dokter di Indonesia kalau disuruh pilih ada COVID-19 atau tidak ya pilih tidak, karena tidak nyaman sama sekali. Sekali lagi, kalau betul, itu tuduhan yang menyakitkan," tegas Joko.
Dia mengingatkan bahwa seharusnya seluruh pihak bahu membahu menangani COVID-19. Tidak perlu saling menjelekkan di tengah pandemi COVID-19.
"Pokoknya intinya dalam kondisi seperti ini mari kita saling bahu membahu, saling kerja sama, saling koordinasi, saling kolaborasi. Tidak usah berkoar-koar yang sifatnya menjelek-jelekkan. Kami kan juga tidak pernah menjelekkan pemerintah, kami tidak menjelekkan siapa pun, kami bekerja, bekerja dan bekerja dan taruhannya nyawa," ucapnya.
"Harusnya seorang petinggi tidak usah banyak omong, kerja, kerja, kerja saja seperti kata Presiden (Jokowi). Kami itu tidak usah diajari karena untuk mendiagnosis itu ada caranya," cetusnya.
Kalau ada, buktikan!
Direktur RSUD Bung Karno, Solo, dr Wahyu Indianto, menilai seharusnya pernyataan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko soal COVID-kan pasien harus disertai data dan bukti. Menurutnya, jika terbukti maka tinggal menunjuk rumah sakit mana yang meng-COVID-kan pasien.
"Seharusnya kan berbicara menggunakan data. Kalau memang ada yang meng-COVID-kan, ya tinggal tunjuk saja rumah sakit mana tinggal dibuktikan," kata Wahyu saat dihubungi detikcom, Senin (5/10).
"Nakes itu sekarang kelelahan, seharusnya diberi dukungan. Mereka sehari-hari harus melalui protap, harus pakai APD (alat pelindung diri), harus mandi setelah bertugas, mereka capai," ujar dia.
Wahyu menuturkan banyak rumah sakit yang jumlah pasien regulernya berkurang karena harus melayani pasien COVID-19. Bahkan di RSUD Bung Karno mengubah seluruh pelayanannya menjadi khusus COVID-19.
"Kalau boleh memilih kan pasti rumah sakit tidak mau menangani COVID-19," kata dia.
Sekretaris Gugus Tugas COVID-19 Solo, Siti Wahyuningsih, mengatakan seluruh proses penanganan COVID-19 sudah ada aturannya. Menurutnya, rumah sakit pun tidak akan sembarangan memberikan status pasien COVID-19.
"Kan semuanya ada aturannya. Status terkonfirmasi itu kan harus dibuktikan hasil laboratorium, semuanya selalu dilaporkan," kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Solo itu.
"Kalau pasien meninggal dalam kondisi suspek, itu terdata sebagai suspek, walaupun pemulasaraan jenazah menggunakan protokol COVID-19. Jadi jangan salah, disebut pasien COVID-19 itu ketika hasil laboratoriumnya positif," ujarnya.
Jangan adu domba
IDI Semarang minta tidak diadu domba dengan isu meng-COVID-kan pasien yang sakit. Sebab tim dokter tidak mungkin sembarangan mengeluarkan diagnosis.
"Kami ini jangan dibenturkan dengan masyarakat, artinya mungkin lebih arif bahasanya, mungkin 'verifikasi lebih kuat'. Jangan sampai asumsinya bukan COVID, di-COVID-kan, kan ada parameternya, selain swab ada rontgen dan lainnya, ada tambahan pendukung," kata Ketua IDI Cabang Kota Semarang Elang Sumambar saat dihubungi wartawan, Senin (5/10/2020).
"Misalkan pasien datang siang ini katakanlah datang dengan kondisi buruk, harus ke ICU, kan harus swab. Swab hasilnya 2-3 hari, kemudian malam atau besoknya meninggal, hasil swab belum ada, harus dimakamkan, ya dengan protokoler COVID, edarannya dari Kementerian seperti itu. Ini yang di masyarakat 'wong enggak COVID'," tuturnya.
"Setelah turun hasil swab baru diketahui tapi sudah dilakukan pemakanan. Di komunikasi itulah yang perlu diperdalam dan diverifikasi," sambung Elang.
Kata Gubernur Ganjar
Sementara Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menjelaskan isu soal rumah sakit meng-COVID-kan pasien sudah terjadi sejak Juli, kemudian Moeldoko menanyakan bagaimana kondisi di Jateng.
"Kan berita sejak Juli ya. Pak Moeldoko menanyakan ke saya itu bagaimana kondisinya di Jawa Tengah. Di Jawa Tengah so far dari rumah sakit belum ada yang ditemukan," kata Ganjar di kantornya, Senin (5/10/2020).
Jika ada laporan, hal yang dicek salah satunya yaitu apakah masyarakat paham dengan ketentuan dari Kementerian Kesehatan yang mengatur pemakaman protokol kesehatan bagi pasien meninggal dengan ciri-ciri COVID-19 meski hasil swab belum keluar.
"Kalau laporan dari masyarakat, diceknya, masyarakat yang tidak paham harus mengikuti ketentuan Kemenkes. Kemenkes kan ketentuannya kalau ada ciri-ciri kan dianggap walau hasilnya belum. Hasilnya muncul kapan maka itu yang perlu kita clearance," ujarnya.
Ganjar menegaskan, jika ada kecurigaan rumah sakit meng-COVID-kan pasien, lebih baik melaporkan salah satunya ke kanal Lapor Gub milik Pemprov Jateng. Ia pun berharap mempercayakan penanganan pasien ke otoritas kesehatan.
"Masyarakat pasrahkan saja ke otoritas kesehatan, kalau ada yang tidak benar laporkan ke kami agar kita eksaminasi kalau perlu kita audit dan datangi. Kalau ada masyarakat atau info yang merasakan merugikan dalam proses kesehatan lapor ke kami, ada aplikasi Lapor Gub agar semua tenang," ujarnya.
Baca juga: 11 Ibu Hamil Tua di Wonogiri Positif Corona |
Diketahui, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko bertemu dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo membahas terkait penanganan virus Corona atau COVID-19. Salah satu yang dibahas adalah definisi ulang kematian pasien akibat virus Corona.
"Tadi saya diskusi banyak dengan Pak Gubernur, salah satunya adalah tentang definisi ulang kasus kematian selama pandemi. Definisi ini harus kita lihat kembali, jangan sampai semua kematian itu selalu dikatakan akibat COVID-19," kata Moeldoko kepada wartawan di kantor Gubernur Jawa Tengah, Jalan Pahlawan Semarang, Kamis (1/10).