Kesaksian Soesilo Toer, Doktor yang Pernah Dipenjara karena Stigma PKI

Kesaksian Soesilo Toer, Doktor yang Pernah Dipenjara karena Stigma PKI

Febrian Chandra - detikNews
Rabu, 30 Sep 2020 20:04 WIB
Soesilo Toer (83), Rabu (30/9/2020).
Soesilo Toer (83) di rumahnya, Blora, Rabu (30/9/2020). (Foto: Febrian Chandra/detikcom)
Blora -

Penulis yang juga akademisi, Soesilo Toer (83), sempat dipenjara di masa Orde Baru karena stigma terlibat gerakan komunis atau PKI. Adik Pramoedya Ananta Toer itu kini menghabiskan masa senjanya dengan beternak dan memulung.

Ditemui di rumahnya, Jalan Sumbawa, Kelurahan Jetis, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, yang juga menjadi rumah sastra sekaligus perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (PATABA), Soes bercerita soal kisah masa lalunya itu.

Membuka obrolan dengan candaan ringan, Soes langsung menebak maksud kedatangan detikcom.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Apa hari G30S/PKI? Mau minta cerita yang mana?" tanya Soes, Rabu (30/9/2020).

"Saya itu tidak PKI, tapi orang-orang mengira saya orang PKI. Saya tidak berpartai dan tidak mau jadi budak partai," kata Soes.

ADVERTISEMENT

Soes menceritakan saat dirinya dipenjara oleh pemerintah pada tahun 1973. Dia dipenjara sepulang merampungkan studinya di Uni Soviet (Rusia). Baru saja menginjakkan kakinya di Tanah Air, dia langsung dijemput oleh pihak berwajib di Bandara Kemayoran dan dibawa ke Cikini, Jakarta.

"Baru saja turun, saya ditahan karena permasalahan dokumen paspor imigrasi. Itu di tahun 1973," ujarnya.

Soes menguraikan, penahanan dia jauh setelah peristiwa G30S/PKI tahun 1965, atau 8 tahun setelah peristiwa itu. Tahun 1965 dia masih berada di Rusia menyelesaikan studinya. Sedangkan keberangkatannya ke Rusia pada tahun 1962.

"Memang waktu itu saya ditahan dan dikumpulkan dengan beberapa tahanan politik pada peristiwa 30 September. Tapi sedikitpun saya tidak pernah terlibat dalam gerakan PKI di Indonesia," jelasnya.

Pada tahun 1978, Soes dibebaskan dari penjara dengan sejumlah syarat, di antaranya dia dilarang menulis dan bercerita kepada siapapun terkait aktivitas dan keadaan di dalam penjara.

"Tanda tangan itu, tinta pulpennya merah lagi. Intinya isinya saya tidak boleh menulis dan bercerita keadaan di dalam penjara," kata Soes.

Dengan status pernah dipenjara dan distigmakan terlibat PKI, Soes pun sempat kesulitan mencari pekerjaan. Namun pada tahun 1989, dia sempat menjadi rektor di salah satu perguruan tinggi di Bekasi. Kemudian tahun 1986-1991, Soes mengajar di sebuah perguruan tinggi di Jakarta.

"Saya sempat menjadi dosen. Tapi lagi-lagi mungkin karena stigma miring itu, di tahun 1991 saya tidak diberi job alias saya diminta berhenti mengajar secara halus," urainya.

Tak patah arang, tahun 1991-2004 Soes bekerja di Litbang Perguruan Rakyat. Setelah tahun 2004 dia pulang ke Blora.

"Pulang ke Blora menikmati masa tua. Sambil benahi rumah ini, meski duit saya tidak banyak waktu itu. Rumah ini dulu juga pernah mau dibangun Pram (Pramoedya Ananta Toer) namun karena perdebatan dengan keluarga, akhirnya batal," jelasnya.

Soesilo kini disibukkan dengan ternak kambing. Jika malam tiba, dia memulung sampah dengan mengitari jalanan kota Blora.

Mendapat gelar doktor dari perguruan tinggi di Rusia, sebutnya, dia mengaku tidak malu dengan keadaannya saat ini.

"Karena ini ada COVID-19 kesibukan beternak dan kalau malam mulung. Kalau tidak ada COVID biasa menjadi pembicara seminar sampai ke mana-mana," kata Soes yang sudah menulis 20 buku lebih, salah satunya berjudul Pram dari Dalam.

Soes menambahkan, stigma terlibat PKI juga masih kerap dia terima.

"Masih, pernah ngatain saya PKI. Gara-gara rumah saya kotor dan bau. Tanpa mau mendengar penjelasan saya," jelasnya.

"Dia tidak tahu, jika saya dulu, di tahun 1960-1962 pernah menjadi sukarelawan pejuang Trikora. Masuk batalion serba guna. Jabatan kepala perbekalan dengan pangkat letnan. Dan pejuang itu tidak dan tak berharap dibayar," kata Soes.

Soes memaafkan semua peristiwa yang menimpa hidupnya. Bahkan ada beberapa lembaga yang menawarkan merehabilitasi atau memulihkan nama baik dia agar terbebas dari tuduhan terlibat gerakan PKI.

"Waktu itu saya jawab, nggak perlu. Hal itu belum tentu berhasil. Bahkan nama saya bisa saja semakin tersiar luas. Saya bisa memperbaiki nama baik saya sendiri. Karena memang faktanya saya tidak pernah terlibat," sebutnya.

"Sesuatu yang paling sulit buat saya adalah menaklukkan diri sendiri. Tapi kalau kamu sudah menemukan diri kamu sendiri, maka harus berani. Karena cuma orang-orang yang berani yang bisa menaklukkan dunia," kata Soes.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads