Penulis yang juga akademisi, Soesilo Toer (83), sempat dipenjara di masa Orde Baru karena stigma terlibat gerakan komunis atau PKI. Adik Pramoedya Ananta Toer itu kini menghabiskan masa senjanya dengan beternak dan memulung.
Ditemui di rumahnya, Jalan Sumbawa, Kelurahan Jetis, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, yang juga menjadi rumah sastra sekaligus perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (PATABA), Soes bercerita soal kisah masa lalunya itu.
Membuka obrolan dengan candaan ringan, Soes langsung menebak maksud kedatangan detikcom.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apa hari G30S/PKI? Mau minta cerita yang mana?" tanya Soes, Rabu (30/9/2020).
"Saya itu tidak PKI, tapi orang-orang mengira saya orang PKI. Saya tidak berpartai dan tidak mau jadi budak partai," kata Soes.
Soes menceritakan saat dirinya dipenjara oleh pemerintah pada tahun 1973. Dia dipenjara sepulang merampungkan studinya di Uni Soviet (Rusia). Baru saja menginjakkan kakinya di Tanah Air, dia langsung dijemput oleh pihak berwajib di Bandara Kemayoran dan dibawa ke Cikini, Jakarta.
"Baru saja turun, saya ditahan karena permasalahan dokumen paspor imigrasi. Itu di tahun 1973," ujarnya.
Soes menguraikan, penahanan dia jauh setelah peristiwa G30S/PKI tahun 1965, atau 8 tahun setelah peristiwa itu. Tahun 1965 dia masih berada di Rusia menyelesaikan studinya. Sedangkan keberangkatannya ke Rusia pada tahun 1962.
"Memang waktu itu saya ditahan dan dikumpulkan dengan beberapa tahanan politik pada peristiwa 30 September. Tapi sedikitpun saya tidak pernah terlibat dalam gerakan PKI di Indonesia," jelasnya.
Pada tahun 1978, Soes dibebaskan dari penjara dengan sejumlah syarat, di antaranya dia dilarang menulis dan bercerita kepada siapapun terkait aktivitas dan keadaan di dalam penjara.
"Tanda tangan itu, tinta pulpennya merah lagi. Intinya isinya saya tidak boleh menulis dan bercerita keadaan di dalam penjara," kata Soes.
Dengan status pernah dipenjara dan distigmakan terlibat PKI, Soes pun sempat kesulitan mencari pekerjaan. Namun pada tahun 1989, dia sempat menjadi rektor di salah satu perguruan tinggi di Bekasi. Kemudian tahun 1986-1991, Soes mengajar di sebuah perguruan tinggi di Jakarta.
"Saya sempat menjadi dosen. Tapi lagi-lagi mungkin karena stigma miring itu, di tahun 1991 saya tidak diberi job alias saya diminta berhenti mengajar secara halus," urainya.
Tak patah arang, tahun 1991-2004 Soes bekerja di Litbang Perguruan Rakyat. Setelah tahun 2004 dia pulang ke Blora.