Kisah Soesilo Toer, Doktor yang Kini Memulung Sampah di Blora

ADVERTISEMENT

Kisah Soesilo Toer, Doktor yang Kini Memulung Sampah di Blora

Ray Jordan - detikNews
Minggu, 03 Jun 2018 04:20 WIB
Soesilo Toer (Arif Syaefudin/detikcom)
Jakarta - Pengarang novel 'Bumi Manusia', Pramoedya Ananta Toer memiliki adik tak kalah eksisnya di dunia tulis-menulis, yakni Soesilo Toer. Namun, pemilik gelar master dan doktor ekonomi politik ini kehidupannya menjadi perhatian.

Soesilo Toer mempunyai gelar master dan doktor ekonomi politik. Ia lulusan perguruan tinggi di Moskow, Uni Soviet. Namun gelar tersebut kontras dengan kehidupannya saat ini.

Setiap malam tiba, ia berkeliling wilayah Kota Blora untuk memulung sampah, seperti sampah botol, kardus, koran, dan sampah lainnya. Menaiki motor bebek pemberian keponakannya, ia mengakui, aktivitas itu dilakukannya untuk menyambung hidup.

"Buat apa malu, yang terpenting adalah bagaimana pekerjaan seseorang itu punya nilai lebih. Saya sudah banyak diejek orang, tapi seolah itu sudah tawar bagi saya. Setinggi apa pun pangkat Anda, jika tak punya nilai lebih, ya percuma," tutur Soesilo saat dikunjungi detikcom di rumahnya, Jalan Sumbawa, Jetis, Blora.

Soesilo Toer juga telah menerbitkan sedikitnya 20 buku, salah satu karyanya yang fenomenal berjudul 'Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer'. Ia pun mengaku saat ini masih banyak buku yang belum dirilis.

"Kalau malam saya operasi (memulung) buat biaya sehari-hari, kalau siang sambil tiduran saya ya nulis. Dulu ada mesin ketik, tapi capek nulis sambil duduk kalau lama, sekarang sambil tiduran tulisan tangan, nanti yang translate jadi ketikan anak saya. Ada 30-an yang belum terbit, ditunggu saja," katanya.

Dalam semalam, ia memulung setelah waktu isya sampai tengah malam, bahkan bisa sampai subuh saat banyak pungutan. Penghasilannya rata-rata Rp 25 ribu dalam sehari. Memulung sampah itu terus dilakoninya setiap hari di sekeliling Kota Blora.

Detikcom sempat berkunjung ke rumah peninggalan Pramoedya Ananta Toer yang kini ditinggali oleh Soesilo Toer, yang berada di Jalan Pramoedya Ananta Toer, Jiken, Kecamatan Lota Blora. Rumah itulah yang menjadi saksi bisu tumbuh kembang Pramoedya bersama adik-adiknya.

Soesilo Toer, menjadi adik kebanggaan Pramoedya Toer. Sebab, semasa hidupnya lah, Soesilo Toer yang dianggap Pram mampu menyamai prestasinya. Mulai dalam hal pendidikan, dan dalam hal menulis.

"Pram sebenarnya anak kedua, namun anak pertama meninggal saat dalam kandungan. Menjadi yatim piatu, Pram seolah sudah menjadi pengganti kedua orang tua, yang mengayomi adik-adiknya. Saya pernah disebutnya sebagai adik kebanggaannya, karena kebetulan saya juga bisa sekolah sampai tinggi dan juga bisa menulis seperti dia," katanya.

Soes, sapaan akrabnya bercerita, saat kecil ia tinggal bersama orang tuanya. Kemudian menginjak usia SMP, berpindah ikut Pram di Jakarta. Semasa itulah banyak kenangan-kenangan hingga membuat karakter Pram menurun kepada adiknya itu.

"Pernah suatu ketika saya usia 13 tahun, saya diberi uang sama Pram Rp 10, harus cukup selama sebulan. Hidup di Jakarta, uang segitu mana cukup. Tapi Pram dengan tegas bilang, ini uangmu, kalau tidak cukup keluarlah. Otomatis saat itu saya harus bekerja agar cukup. Saya lihat dia (Pram), dari menulis bisa dapat uang. Akhirnya mulailah saya menulis," tutur Soes.

Menjadi adik yang diasuh secara langsung oleh Pramoedya, menjadikan Soes mampu menggambarkan watak sosok Pram yang keras, tegas, idealis, namun sejatinya memiliki hati yang lembut.

"Masih kecil, saya disuruh mengantar barang melewati perkampungan. Saat itu saya naik sepeda, di depan ada anak kecil jalan kaki mundur-mundur kemudian jatuh di parit. Saya yang disalahkan, sampai satu kampung membuat peraturan, bawa sepeda harap turun. Kejadian itu sampai di telinga si Pram," terangnya.

"Saya kena marah sama dia, kepala saya ditempeleng berkali-kali dan dia langsung ngajak saya ke rumah anak tadi. Di depan kedua orang tua anak tadi saya dipaksa untuk minta maaf, ya saya minta maaf. Tapi saat itu juga saya bilang, bahwa saya tidak salah. Mungkin karena dia sadar bahwa omongan saya ini tulus kalau tidak bersalah, kemudian ngajak pulang. Saya langsung diajak nonton bioskop saat itu naik becak. Diatas becak kepala saya dielus-elus, diciumi, meskipun sama sekali tidak minta maaf dia," cerita Soes dengan mata berkaca-kaca.

Soes dan Pram sempat berpisah hingga belasan tahun karena Soes harus mengenyam pendidikan di Rusia, dan ketika pulang, Pram pun menjadi tahanan politik (Tapol).

"Pas keluarnya dia dari tahanan, banyak orang yang memberi ucapan selamat, sampai ngantri panjang itu. Termasuk saya, tapi dari kejauhan karena saya ini anaknya cengeng, sudah nangis duluan dan kabur. Pram saat itu belum sadar siapa saya, sampai dia tanya istrinya, saat itulah dia langsung ngejar saya, meluk saya. Saya sampai bicara, bagaimana bisa saya yang kau sebut adik kebanggan, tapi malah tak dikenali. Karena memang saya saat itu dandan klimis sih, tidak seperti biasa," ujarnya.

"Selama hidup saya ini, Pram meminta maaf kepada saya hanya satu kali. Ketika itu saya dapat surat dari teman Belanda, namun disobek sama si Pram. Baru kali itu dia bilang Sorry sama saya. Saya langsung merinding saat itu, mengingat sosoknya yang keras karena mungkin bawaan militer ya," pungkasnya. (jor/gbr)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT