Salah seorang penemu puluhan kilogram perhiasan emas di Desa Wonoboyo, Klaten pada 1990 silam, Surip (70) mengungkap cerita unik di balik peristiwa itu. Dia bercerita saat itu tanah di sekitar lokasi penemuan emas itu terasa panas.
"Tapi tanahnya (yang diambil di lokasi temuan emas) panas. Tanahnya pasir halus kemerahan lalu saya taruh (di) halaman (rumahnya)," ujar Surip kepada detikcom, Selasa (29/7/2020).
Dia bercerita saat itu dia menggunakan empat gerobak tanah yang diambil dari sekitar lokasi penemuan itu. Namun karena akhirnya dia merasakan tanah tersebut panas, dia tak melanjutkan menggunakan tanah itu untuk menguruk lantai rumahnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau batu-batu ditumpuk di dekat jalan tapi sekarang sudah remuk," lanjut Surip.
Tanah berpasir itu, sambung Surip, tidak hanya ada di lokasi temuan puluhan kilogram emas. Namun, titik di sebelah utara titik temuan juga berupa pasir.
"Sawah ke arah Desa Dompyongan itu ditemukan beberapa kayu jati tertimbun tanah. Mungkin hutan kena lahar letusan Gunung Merapi," tutur Surip.
Diberitakan sebelumnya, puluhan perhiasan emas dan perak yang beratnya mencapai puluhan kilogram ditemukan enam orang petani yang sedang menggali tanah uruk di Desa Wonoboyo, Kecamatan Jogonalan, Klaten pada 17 Oktober 1990. Ernam orang tersebut yakni Widodo, Wito Lakon, Hadi Sihono, Surip, Sumarno, dan Sudadi.
Keenamnya saat itu mendapat penghargaan dari pemerintah berupa uang masing-masing Rp 18 juta.
Untuk mengenang penemuan spektakuler itu, dibangunlah Rumah Situs Wonoboyo. Awalnya, pihak desa berniat membangun museum. Namun niat itu tak bisa diwujudkan karena tak bisa memajang emas temuan yang kini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.