Meminta Pemerintah untuk menyimpan keris tersebut, kata Roni untuk mengantisipasi munculnya polemik di keluarga Pangeran Diponegoro. Terlebih nantinya akan memicu saling klaim untuk menyimpan keris tersebut.
"Seandainya pun nanti disimpan oleh keluarga, siapa yang bisa menjamin keris itu akan tetap ada. Yang kedua, siapa yang bisa menjamin tidak menjadi bahan rebutan, barange mung siji sing ngaku wong akeh (barangnya hanya satu tapi yang mengaku-ngaku orang banyak)," ucapnya.
"Jadi kalau menurut keluarga biarlah Pemerintah yang menyimpan di Museum Nasional. Dijadikan satu dengan tombak Kiai Rondan, dengan pelana kuda, dengan (tongkat) Kiai Cokro," imbuh Roni.
Kurator Museum Keris Nusantara di Solo, Ki Ronggajati Sugiyatno, juga meragukan kebenaran klaim tersebut. Dia meyakini tidak mungkin Pangeran Diponegoro tak bisa membedakan keris dhapur nagasasra dengan keris dhapur naga siluman. Apa lagi memberi gelar atau nama keris dhapur nagasasra dengan nama naga siluman karena Diponegoro pasti tahu bahwa naga siluman adalah dhapur tersendiri.
Alasan berikutnya adalah warangka atau sarung keris yang dikembalikan dari Belanda itu berjenis warangka Ladrangan Kagok gaya Surakarta. Padahal Pangeran Diponegoro itu bangsawan dari Keraton Yogyakarta, putera Sultan Hamengku Buwono III.
(mbr/mbr)