Namun, Roni tidak memastikan bahwa keris yang dikembalikan tersebut bukan keris Diponegoro. Sebab bisa jadi, nama keris naga siluman sebagai milik Diponegoro selama ini tidak merujuk pada dhapur, tapi sebutan. Dalam tradisi Jawa, memang ada kebiasaan menamai benda-benda khusus dengan nama dan bahkan gelar sesuai kemauan pemiliknya.
"Karena keris itu, orang menyebut keris itu bisa dengan sebutan dhapur-nya atau dengan gelarnya. Jadi keris itu juga punya gelar, tombak punya gelar, punya nama," ucap Roni.
Karena itu ada dugaan bahwa naga siluman adalah nama sesuai dhapur, namun bisa juga sebutan sesuai sebutan yang diberikan untuk keris tersebut. Demikian, menurut Roni, perdebatan tentang kepastian keris yang dikembalikan dari Belanda itu masih terus terbuka. Klaim itu masih bisa berubah jika ada temuan.
"Tetapi apakah masih bisa berubah? Masih bisa kalau besok suatu saat ditemukan lagi data-data yang lebih lengkap, lebih komplit. Misalnya ternyata nanti ditemukan sebuah buku yang mengisahkan tentang (keris) naga siluman milik Pangeran Diponegoro itu dulu asal usulnya dari mana," ujarnya.
Sejauh ini, lanjut Roni, informasi sejarah Pangeran Diponegoro masih bersumber dari 'Babad Diponegoro' yang ditulis sendiri oleh sang Pangeran. Dalam serat babad tersebut, tidak disebut tentang keris naga siluman. Demikian juga dalam 'Babad Diponegoro' versi Surakarta maupun 'Babad Diponegoro Kedung Kebo', tidak menceritakan tentang pusaka Diponegoro.
"Jadi semua masih berdasarkan administrasi yang dikuasai oleh Belanda, yang satu (pertama) adalah kesaksian tertulis Sentot (panglima perang Diponegoro). Yang kedua adalah kesaksian tertulisnya Raden Saleh (pelukis). Yang ketiga adalah surat menyurat antara Kerajaan Belanda dengan Kantor Hindia Belanda di Batavia," kata Roni.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini