6 Februari Hari Anti-Sunat Perempuan Internasional, Apa Maknanya?

6 Februari Hari Anti-Sunat Perempuan Internasional, Apa Maknanya?

Aditya Mardiastuti - detikNews
Kamis, 06 Feb 2020 17:24 WIB
Kasus Sunat Perempuan Mulai Disidangkan di Queensland
Ilustrasi sunat perempuan (Foto: Australia Plus ABC)
Yogyakarta -

Tanggal 6 Februari diperingati sebagai Hari Tidak Ada Toleransi bagi Mutilasi Alat Kelamin Perempuan Internasional (International Day Zero of Tolerance for Female Genital Mutilation). Di Indonesia, istilah mutilasi alat kelamin perempuan ini dikenal dengan sunat perempuan. Seperti apa latar belakangnya?

Mengutip dari situs PBB di un.org, mutilasi alat kelamin perempuan atau sunat perempuan ini ditetapkan pada 2012. Sunat perempuan ini dimaknai sebagai seluruh prosedur yang melibatkan perubahan atau melukai alat kelamin wanita karena alasan nonmedis. Dampak yang ditimbulkan sunat perempuan ini pun disebut banyak mudaratnya.

"Gadis-gadis yang menjalani sunat perempuan ini menghadapi komplikasi jangka pendek, seperti nyeri parah, syok, perdarahan berlebihan, infeksi, dan kesulitan buang air kecil, serta konsekuensi jangka panjang bagi kesehatan seksual dan reproduksi serta kesehatan mental mereka," tulis PBB dalam situsnya seperti dikutip detikcom, Kamis (6/2/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

PBB mencatat sunat perempuan ini diberlakukan di 30 negara di Afrika dan Timur Tengah. Selain itu, di kawasan Asia dan Amerika Latin, praktik sunat perempuan ini masih ditemukan.

"Sunat perempuan bukan hanya pelecehan berat kepada hak asasi manusia, tapi secara signifikan melukai kesehatan fisik dan mental banyak perempuan. Ini juga menguras sumber daya ekonomi suatu negara," kata Direktur Departemen Kesehatan dan Penelitian Seksual dan Reproduksi WHO Dr Ian Askew dikutip dari situs who.int.

ADVERTISEMENT

Para perempuan yang menjalani sunat perempuan ini cenderung akan mengalami komplikasi yang mengancam nyawa saat melahirkan. Mereka bakal mengalami masalah kesehatan atau menderita infeksi kronis, mengalami masalah saat menstruasi, buang air, atau saat berhubungan seksual.

Sunat perempuan ini dipahami dunia internasional sebagai pelanggaran HAM. Tindakan ini tidak berfaedah pada kesehatan dan membahayakan. WHO tegas menolak sunat perempuan ini.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Mengutip data UNICEF 2016, Indonesia berada di peringkat ketiga praktik sunat perempuan di dunia, setelah Mesir dan Etiopia. Data ini diungkap oleh Aktivis Jaringan Perempuan Yogyakarta Ika Ayu dalam acara diskusi di Universitas Gadjah Mada (UGM) hari ini.

"Menurut laporan tersebut, separuh anak perempuan berusia di bawah 11 tahun atau sekitar 13,4 juta di Indonesia dipaksa mengalami praktik yang melanggar hak perempuan atas kesehatan, keamanan, kebebasan berpendapat, kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan itu," katanya saat mengisi diskusi bertajuk 'Membedah Mitos dan Fakta tentang Sunat Perempuan' di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM.

Hal tersebut disampaikan dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom dari Humas UGM, Kamis (6/2/2020).

Ika menyebut praktik sunat perempuan digunakan sebagai alat kontrol seksual. Termasuk lewat aturan diskriminatif dengan alasan moralitas dan agama, dan bentuk penundukan serta pendisplinan seksualitas.

"Tak hanya itu, praktik sunat perempuan semakin menguatkan norma patriarki, jika perempuan tidak sunat, akan mengancam norma masyarakat. Patut ditolak karena juga tidak ada argumen medis yang menguatkan praktik ini harus dilakukan," urainya.

Menurutnya, pemerintah Indonesia saat ini tidak memiliki kejelasan sikap terhadap sunat perempuan ini. Perbedaan pendefinisian antara female genital mutilation (FGM) WHO dengan praktik sunat perempuan di Indonesia menjadi wilayah abu-abu yang menyebabkan ketidaktegasan sikap pemerintah.

Inkonsistensi sikap pemerintah atas sunat perempuan, lanjut Ika, menjadikan praktik ini semakin dianggap boleh dan perlu dilakukan oleh masyarakat Tanah Air.

"Negara perlu menunjukkan bukti konkret atas perlindungan dan pemenuhan hak seksual dan reproduksi setiap warganya dengan tidak membiarkan praktik sunat perempuan menjadi perlu dan wajar dilakukan," tegasnya.

Dalam kesempatan yang sama, peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM Sri Purwantiningsih, SSi, MKes, menyampaikan praktik pemotongan atau perlukaan genetalia (P2GP) perempuan masih terus terjadi di Tanah Air. Sri menyebut praktik sunat perempuan sulit dihilangkan karena berhubungan dengan norma.

"Terjadi reproduksi kultural dalam rumah tangga. Nenek yang disunat cenderung menyunat anaknya (ibu) dan ibu yang disunat oleh neneknya juga cenderung menyunat anaknya," kata Sri Purwantiningsih.

Mengutip hasil kajian PSKK UGM pada 2017 yang dilakukan pada 4.250 rumah tangga di 10 provinsi Indonesia, sebanyak 87,3 persen responden mendapatkan informasi mengenai sunat perempuan dari orang tuanya.

Doktrin agama dan tradisi di masyarakat menjadi alasan pelaksanaan sunat pada perempuan. Sebanyak 92,7 persen responden mengungkapkan perintah agama menjadi alasan untuk melakukan sunat perempuan dan 84,1 persen karena alasan tradisi.

"Sebanyak 97,8 persen responden mengatakan sunat perempuan perlu dilakukan," ungkapnya.

Halaman 2 dari 3
(ams/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads