Hari ini diperingati dunia internasional sebagai Hari Tidak Ada Toleransi bagi Mutilasi Alat Kelamin Perempuan (International Day Zero of Tolerance for Female Genital Mutilation). Namun, faktanya masih banyak praktik sunat perempuan yang dilakukan di Indonesia.
Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM Sri Purwantiningsih, S.Si, M.Kes, menyampaikan praktik pemotongan atau perlukaan genetalia (P2GP) perempuan masih terus terjadi di tanah air. Sri menyebut praktik sunat perempuan sulit dihilangkan karena berhubungan dengan norma.
"Terjadi reproduksi kultural dalam rumah tangga. Nenek yang disunat cenderung menyunat anaknya (ibu) dan ibu yang disunat oleh neneknya juga cenderung menyunat anaknya," kata Sri Purwantiningsih dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom dari humas UGM, Kamis (6/2/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu disampaikan Sri saat mengisi diskusi Membedah Mitos dan Fakta Tentang Sunat Perempuan di PSKK UGM, Kamis (6/2).
Mengutip hasil kajian PSKK UGM pada 2017 yang dilakukan pada 4.250 rumah tangga di 10 provinsi Indonesia, sebanyak 87,3 persen responden mendapatkan informasi mengenai sunat perempuan dari orang tuanya.
Doktrin agama dan juga tradisi di masyarakat menjadi alasan pelaksanaan sunat pada perempuan. Sebanyak 92,7 persen responden mengungkapkan perintah agama menjadi alasan untuk melakukan sunat perempuan dan 84,1 persen karena alasan tradisi.
"Sebanyak 97,8 persen responden mengatakan bahwa sunat perempuan perlu dilakukan," ungkapnya.
Sementara Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Dr. Hamim Ilyas mengatakan dalam Islam tidak diperkenalkan praktik sunat perempuan. Dia menyebut asal usul sunat dimulai dari Nabi Ibrahim As yang melakukan di usia 80 tahun, dan kala itu hanya dilakukan pada laki-laki.
Hamim menjelaskan dalam Al-Qur'an tidak terdapat ayat yang langsung menunjuk pada khitan, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Ayat yang biasa dijadikan dasar adalah Surat An-Nahl ayat 123 yang memerintahkan Nabi Muhammad SAW mengikuti millah (tuntunan hidup) Nabi Ibrahim As.
Hamim menyampaikan terdapat perbedaan pandangan tentang sunat perempuan di kalangan mahzab di mana ada yang menjadikannya sunah, tidak wajib, dan wajib.
"Di Indonesia praktik sunat perempuan banyak ditemukan karena mahzab yang dominan adalah Syafi'i yang mewajibkan sunat perempuan," terangnya.
(ams/sip)