Selain konstruksi bangunan yang beda dari yang lain, hingga saat ini belum diketahui siapa yang membangun masjid berukuran sekitar 4x4 meter tersebut. Konon, masjid itu dahulunya berada di pucuk menthuk dan karena hal tertentu akhirnya terhempas hingga ke Dusun Gambarsari.
Masjid Tiban berlokasi di belakang rumah warga Dusun Gambarsari, Desa Jurangjero, Kecamatan Ngawen, Gunungkidul, tepatnya di sebuah pekarangan yang dikelilingi pepohonan dan tumbuhan. Dari segi konstruksi, bangunan tersebut menyerupai rumah panggung dengan menggunakan anyaman bambu untuk dinding dan rumput ilalang kering sebagai atapnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melongok ke dalam masjid tersebut, tampak beberapa kaligrafi yang terpasang di setiap sisi dindingnya. Untuk alasnya, terbuat anyaman bambu yang kini dilapisi karpet hijau.
![]() |
Selain itu, di bagian dalam masjid juga terdapat sajadah dan perlengkapan salat seperti sarung dan mukena.
Suasana masjid ini terbilang sepi tapi asri, hal itu karena Masjid Tiban berada di tengah perkebunan jati yang jauh dari keramaian.
Juru kunci Masjid Tiban, Mantos Suwitnyo (75) mengatakan, bahwa ia tidak tahu kapan masjid tersebut mulai dibangun. Menurutnya, masjid itu tiba-tiba saja berada di pekarangan yang tidak jauh dari rumahnya.
![]() |
"Karena tiba-tiba ada di sini (pekarangan di belakang rumah Mantos) makanya dinamai Masjid Tiban, dan masjid ini sudah ada di sini sejak lama sekali. Bahkan orang sini tidak ada yang tahu siapa yang membangun dan memindahkannya (Masjid Tiban) sampai sini," ujarnya saat ditemui di Masjid Tiban, Dusun Gambarsari, Desa Jurangjero, Kecamatan Ngawen, Gunungkidul, Selasa (14/5/2019).
Meski begitu, Mantos menyebutmasjid itu semula berada di pegunungan sebelah barat rumahnya. Namun kemudian masjid itu berpindah ke Dusun Gambarsari.
"Kalau dari cerita orangtua dulu, Masjid Tiban ini tadinya berada di pucuk menthuk atau gunung di sebelah barat itu (sebelah barat rumah Mantos). Terus yang membangun Masjid itu mungkin membuat kesalahan dan akhirnya para wali saat itu memindahkannya ke bawah sini," katanya.
"Dan dari dipindah sampai sekarang bentuk bangunannya masih seperti itu, tidak berubah," imbuh Mantos.
Mantos menjelaskan bangunan Masjid Tiban sempat mengalami beberapa kali perbaikan khususnya pada bagian atap dan dinding. Mengingat bagian atap hanya menggunakan rumput ilalang dan dindingnya terbuat dari anyaman bambu.
![]() |
"Biasanya yang rutin diganti itu bagian atap sama gedhek (dinding anyaman bambu), yang mengganti biasanya dibantu sama warga sekitar. Kalau bagian yang masih utuh dari dulu sampai sekarang hanya gedhek dekat pintu masuk ini, sama kayu-kayunya ini tidak ada yang diganti alias masih utuh," ucap Mantos.
Mantos mengimbuhnkan, meski berada di daerah terpencil, banyak orang yang mengunjungi Masjid Tiban. Menurutnya, orang-orang tersebut berasal dari berbagai kalangan.
"Pernah ada 30 siswi datang ke sini untuk salat dan berdoa agar lulus, mereka juga yang memberi hiasan kaligrafi di bagian dalam masjid itu," katanya.
Selain dari kalangan biasa, Mantos mengakui ada pejabat yang pernah datang ke Masjid Tiban untuk beribadah dan memanjatkan doa. Bahkan, beberapa hari lalu ada rombongan dari luar DIY yang datang malam hari untuk salat di Masjid Tiban.
Tak hanya sering dikunjungi, Masjid Tiban memiliki kisah unik, salah satunya saat seorang warga Ngawen hendak meminjam padasan atau gentong tanah liat di depan Masjid Tiban.
"Jadi pernah ada orang minjam padasan Masjid Tiban untuk dibawa ke Gunung Gambar, yang bawa saat itu malam hari. Nah, pas mau alat subuh itu padasannya hilang dan ternyata kembali lagi ke Masjid Tiban," ucapnya.
"Dan sama orang itu disusul lagi ke Masjid (Tiban) dengan niatan mau membawanya lagi. Tapi diangkattujuh kali tidak berhasil-berhasil dan pas yang kedelapan kali itu orangnya ambruk karena kelelahan tidak bisa mengangkat padasan," pungkasnya. (sip/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini