Peneliti Laboratorium Big Data Analytics Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Arya Budi, menjelaskan tingginya potensi politik uang di suatu daerah tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama tingkat pendidikan, kedua tingkat ekonomi masyarakat.
Menurutnya, semakin tinggi tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat maka praktik politik uang tidak begitu bekerja. Sebaiknya, jika tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat rendah maka praktik politik uang akan merajalela dan diterima warga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"(Sebaliknya) kalau orang sudah punya uang ngapain menerima uang (politik uang)? Kemudian kalau orang berpendidikan (menyadari) bahwa itu (politik uang) tindakan yang salah itu mungkin enggak akan diterima juga," sambungnya.
Arya menjelaskan ada satu cara yang dinilai efektif untuk memutus mata rantai politik uang. Cara itu dengan memberikan edukasi politik secara masif kepada masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih dan kepada peserta pemilu di eksekutif maupun legislatif.
"Iya, (perlu) edukasi pertama di level pemilih tentu harus ada edukasi pemilih. Di level peserta Pemilu tentu harus ada aturan yang jelas mengatur vote buying. Kan kita belum tegas mengatur pidananya seperti apa, penindakannya seperti apa," ucapnya.
"Di level peserta (Pemilu), penyelenggara harus mengatur secara ketat soal vote buying. Di level pemilih penyelenggara melakukan semacam penyadaran politik yang lebih masif. Saya pikir itu akan mampu mereduksi angka jual beli suara," lanjutnya.
Sebelumnya, Ketua Bawaslu DIY Bagus Sarwono mengakui bahwa potensi politik uang di Kabupaten Gunungkidul memang yang tertinggi di DIY. Selain Gunungkidul, lanjutnya, Kulon Progo juga dinilai berpotensi tinggi terjadinya politik uang.
"Kita (Bawaslu) enggak menolak anggapan itu. Kita anggap benar Gunungkidul potensinya paling tinggi untuk money politics (politik uang)," ujar Bagus, Senin (25/2) kemarin. (ush/mbr)











































