Sampah menjadi momok tidak berujung bagi masyakat di perkotaan maupun perkampungan. Lautan sampah bahkan sempat terjadi di Bandung Raya kala TPA Leuwigajah, Kota Cimahi meledak.
Itu gegara sampah. Belum lagi, TPA Sarimukti yang kini sudah dinilai melebihi kapasitas akan segera dihentikan operasinya. Hal itu memberikan daftar panjang masalah sampah yang belum ada solusi tepat menuju bebas sampah.
Tidak ingin terlena dengan menanti kebijakan pemerintah, sekelompok masyakat di RT 04, RW 18, Komplek Cipageran Asri, Kota Cimahi bergerak secara mandiri untuk mengelola sampah. Bukan hanya mengelola, tetapi juga menumbuhkan ketahanan pangan dan menjadi salah satu sumber penghasilan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arief Purnomo (50) menjadi salah satu pencetus gerakan tersebut yang dinamai Gerakan Ekonomi Mandiri (GEMI) 0418. Arief menuturkan, gerakan tersebut berawal ketika sebagian warga bekerja dari rumah (WFH) ketika pandemi COVID-19 melanda.
Arief dan beberapa warga komplek sering kali nongkrong di pos ronda. Di sanalah tercetus niatan membentuk GEMI.
"Awalnya sekedar obrolan pos ronda. Hayu dari pada kita nganggur di rumah, kerjaan beres, kemudian ngobrol akhirnya kebentuklah GEMI ini. Tujuan GEMI ini adalah untuk ketahanan pangan warga," tutur Arief saat ditemui detikcom beberapa hari lalu.
Berawal dari Ternak Ikan Lele
Bermodalkan dana kas RT, Arief dan sejumlah warga pun mulai berternak ikan lele. Sekitar 25 kepala keluarga ikut serta dalam gerakan ini dan bergantian memberi pakan.
Kolam ikan lele menggunakan rumah yang tidak terpakai. Saat panen, ikan lele itu dibagikan kepada warga sekitar.
"80 bahkan 100 kilo. Hasil panen diberikan gratis kepada warga, dari setengah hingga 1 kilo," ucapnya yang juga sebagai ketua RT di sana.
Di tengah perjalanan, kebutuhan pakan cukup menguras keuangan. Sebuah ide terbesit untuk membudidaya maggot sebagi pengganti pakan ikan lele.
Setelah berjalan beberapa bulan, budidaya maggot pun mendapat antusias warga lainnya. Kini, sudah ada 354 keluarga yang sampahnya diolah GEMI 0418 di rumah maggot. Rumah maggot merupakan lokasi Arief dan warga mengolah sampah dan membudidaya maggot.
'Habiskan' 12 Ton Sampah Per Bulan
Bahkan, mereka pun hampir kekurangan pasokan sampah. Akhirnya, sampah organik dari Pasar Atas Baru pun dikirim ke sana.
"Sekarang kebutuhan maggot kita dari sampah rumah tangga hampir 2 kuintal dan dari pasar 3 kuintal. Rata-rata sekitar 250 kilogram per hari," ungkap Arief.
Satu hal yang tidak pernah Arief sangka, yakni saat ini warga di Cipageran Asri berhasil mencegah sampah sebanyak 12 ton terbuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) hanya dalam satu bulan.
"Ternyata jika dikelola sepenuh hati dan dikelola baik, kita bisa membantu pemerintah untuk mengurangi sampah. Sampai saat ini kami bisa mengoptimalkan 10 hingga 12 ton per bulan. Itu hal luar biasa dan di luar perkiraan kita," ungkapnya dengan bangga.
Detikcom pun berkesempatan melihat langsung proses pengolahan sampah hingga menjadi pakan bagi maggot. Sampah dipilah dan dikeringkan beberapa hari. Setelah cukup kering, sampah dipindahkan ke tempat maggot bersarang.
Sementara itu, sebuah tempat tertutup menggunakan insect net sebagai tempat lalat tentara hitam berkembang biak. Nantinya, telur dari lalat akan dipisahkan hingga berubah menjadi pupa atau ulat maggot.
Ulat inilah yang nantinya akan dibuat menjadi pakan lele. Proses menjadi pakan pun berbeda, ada yang masih hidup atau sudah kering tergantung kebutuhan. Kini maggot hasil budidaya warga sudah dijual ke masyakat luas dan warga meraup keuntungan.
"Sebagian lagi untuk kebutuhan pakan kita, sebagian lagi kita jual. Produksi maggot dijual di lingkungan kita, ada juga ke Jakarta, Banjaran, Lembang, Cimahi. Setiap bulan bisa memproduksi sekitar 2 kuintal maggot fresh," ucap Arief.
Bagaimana caraArief dan kawan-kawan GEMI menjaga agar peternakan maggot ini berkelanjutan ?
![]() |